Kamis, 27 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3(BAGIAN 2)



REVIEW 7
Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi

oleh : Grendi Hendrastomo






Hubungan Buruh – Pengsaha-Negara (Tripartit)

1.  Marginalisasi Buruh


Pengusaha/pemilk modal selalu melihat buruh sebagai budak yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha. Sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim disunat sana sini bahkan ditunda pembayarannya gara – gara alas an ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan diganti. Dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan dimata pemilik modal.

Penggolongan buruh sebagai faktor produksi merupakan proses meminggirkan buruh dan menjadi alas an perusahaan ketika dituntut untuk melakukan efisiensi dan berbagai pengurangan beban produksi, maka buruh akan menjadi salah satu faktor produksi yang fleksibel yang bisa disesuaikan dengan pasar. Artinya, ketika terjadi krisis maka buruh bisa dengan seenaknya diganti, diberhentikan, sesuai dengan kebutuhan pengusaha.Buruh telah ditempatkan sebagai komoditas, buruh adalah sumber tenaga kerja, karena itu bisa diperdagangkan sewaktu – waktu.

Dalam pandangan Marx, buruh itu tersaing (teralienasi) dalam 4 hal.Pertama, buruh teralienasi dari aktvitas kerjanya.Idealnya orang bekerja bukan hanya untuk memenuhi keinginannya, melainkan juga untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.Kenytaannya, buruh tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan potensinya.Buruh hanya menunaikan tugas, kewajiban dan perintah pemilik modal.Kedua, buruh teralienasi dari produk yang dihasilkan.Buruh tidak memiliki sumbangsih terhadap produk yang dihasilkan, kesemuanya meupakan perintah dan keinginan dari pemilik modal.Untuk mendapatkan produk yang mereka buat, tidak ada eksklusifitas bagi para buruh, mereka tetap harus membeli prduk yang mereka buat dengan harga pasar. Ketiga, buruh teralienasi dari buruh lain. Buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antara sesame buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kolektif sesame buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penh dari sesame buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.Keempat, buruh teralienasi dari potensi yang dimiliki.Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghaslkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal utnuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.

Keterpinggiran buruh pun tidak hanya dapat dilihat dari 4 hal diatas tetapi masih ada beberapa bentuk marginalisai buruh, diantaranya :

  • ·         System kontak dan outsourcing
Pergeseran kepentingan dan perubahan peraturan telah memarginalitaskan buruh dari semua segi.Sejak UU Ketenagakerjaan no 13/2003 efektif berlaku, secara massif terjadi gerakan pergantian status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, melalui sistemn outsourcing tenaga kerja. Tren ini terutama terjadi pada industry besar padat karya yang memproduksi garment, spatu, elektoronik dan makanan. UU tersebut menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti status pekerja tanpa mengikuti posedur yang ada.Beberapa khasus memunculkan pemutusan hubungan kerja tanpa diberi hak – hak yang seharusnya mereka terima.

System kontrak juga memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja.Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka.Hal in terpaksa mereka lakukan demi untuk mempertahankan pekerjaan mereka.

  • ·         Bargaining position yang lemah
Dengan diberlakukannya UUK 13/2003 tentang system kontrak menabiskan psisi buruh yang sangat lemah. Kondisi ini membuat posisi buruh dihadapan perusahaan menjadi sangat lemah, mereka bisa dengan mudah digantioleh orang lain. Posisi tawar yang lemah juga memaksa mereka menerima gaji yang diberikan oleh perusahaan walaupun dibawah standar hidup layak. Serikat – serikat buruh tidak berjalan karena pekerja diliputi ketakutan, antara berjuang untuk peningkatan kesejahteraan dengan resiko PHK atau menerima apa adanya untuk mempertahankan pekerjaab mereka. Peran Negara yang seharusnya melindungi buruh justru tidak bisa melakukan apa – apa. Kebijakan yang mereka keluarkan selalu berpijak pada perusahaan (corporate centris).

  • ·         Upah minimum – jam kerja maximum
Kebijakan system kontrak dan posisi tawar yang lemah berakibat pada pah minimalis yang mereka terima tanpa tunjangan sama sekali. Walaupun upah yang mereka terima sangat minimum, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis sama dengan karyawan tetap. Perusahaan akan memaksimalkan dan memeras keringat buruh untuk bekerja semaksimum mungkin. Dalam pandangan Marx, perusahaan akan menerima value added dari kebijakan ini. Umunya pekerja di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untk delapan jam mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Artinya, perusahaan mendapatkan nilai tambah dengan system ini. Disatu sisi perusahaan untung, disisi lain buruh dirugikan dengan upah minimum dan jam kerja panjang.

  • ·         Upah dan kebutuhan riil yang tidak sebanding
Problem buruh selama ini selalu berpokok pada masalah fundamental, yaitu upah.Selama ini upah buruh tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.Regulasi pemerintah tentang penetapan upah minimum pun hanya mencakup 80% dari kebtuhan riil.Lagi – lagi dengan alsan klise “ekonomi”, pemerintah dan perusahaan memaksa buruh untuk menerima kebijakan upah minimum tersebut. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istri.
Permasalahan – permasalahan yang muncul diseputar buruh menunjukkan keterpinggiran mereka. Tidak ada jalan lain yang mereka lakukan selama ini. Kondisi perekonomian yang buruk, dnegan jumlah pengangguran yang besa, lapangan pekerjaan yang kecil dan ketidakmampuan mereka mengenyam pendidikan tinggi membuat buruh menerima apa adanya. Keinginan untuk menerima upah yang layak kadang terpikirkan ketika didepan mereka terbentak pemutusan hubungan kerja yang sewaktu – waktu terjadi.Negara yang diharapkan mampu melindungi dan menyuarakan hak – hak mereka asyik berlindung dibalk angka – angka.Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan masalah pengangguran yang menerpa, pemeintah menjadi gelap mata.Demi menarik hati investor agar mau menanamkan modalnya, pemerintah telah menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan menciptakan lapangan pekerjaan yang besar dengan mengesampingkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja.


2. Labour Market Flexibility

           Filosofi dasarnya adalahmenyerahkan hubungan buruh majikan pada mekanisme pasar, dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah.Hal in muncul dengan didasari perpektf pengusaha dalam menghadapi permasalahan tenaga kerja yang tidak kunjung selesai.Upah yang semakin mahal dengan produktivitas rendah.Padahal menurut pengusha merekalah yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi.Berlarut – larutnya situasi ketenaga kerjaan yang merugikan ini membuat pemilik modal sudah bersiap – siap mereposisi strategi industrinya dengan meninggalkan pilihan padat karya (labor intensive) menjadi padat modal (capital intensive) (Binawan & Prasentyantoko, 2004). Dengan kata lain mereka lebih memilih menjadi “pemasar dengan mengimpor produk dari tempat lain, ketimbang harus memproduksi sendiri dengan beban tenaga keja yang menurut mereka terus membebani.

              Melihat kondisi ini mau tidak mau pemerintah kemudian harus turun tangan, karena pemerintah tidak ingin perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja merelokasi industrinya ke negeara lain yang akan menimbulkan efek domino mulai pengangguran, kemiskinan hingga meningkatnya angka kriminalitas dan menurunnya kesehatan masyarakat.

                 Kebijkan pemerintah tentang penerapan fleksibiltas pasar tenaga kerja (LMF) merupakan respon yang semakin memantapkan asumsi bahwa akibat krisis, negeri kita semakin fanatic pada system pasar bebas.LMF dianggap sebagai salah satu solusi ntuk meningkatkan daya tahan korporasi dalam menghadapi krisis.Mekanisme upah dan kesejahteraan buruh pun kemudian oleh Negara diserahkan pada korporasi sehingga merekalah yang menentukan seberapa besar kesejahteraan buruh. Bila sector korporasi bisa bertahan hidup, permintaan terhadap pasar tenaga kerja akan stabil atau ditingkatkan, sehingga harus diupayakan sector korporasi semakin kuat menghadapi gelombang krisis. Dengan kata lain, LMF mendorong daya saing korporasi melalui penyingkiran berbagai hambatan bagi operasi modal, salah satunya adalah reduksi atau pencabutan berbagai peratran yang melindungi buruh. Peraturan perburuhan yang sangat liberal dan memudahkan prosdur rekrut dan pecat justru dikembangkan.Peraturan peburuhan yang semakin liberal, dengan sendirinya justru telah menarik Negara dari perannya sebagai pelindung buruh.

                    Secara umum, kemudian LMF dipahami sebagai kemampuan pasar tenaga kerja menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi ekonomi. Dnegan kata lain, LMF sebenarnya adalah sebuah mekanisme pengalihan resiko dai korporasi kepada karyawan. System gugur tidak diberlakukakn terhadap korporasi, tetapi justru ditimpakan kepada pasar tenaga kerja (Binawan & Prasentyantpkp, 2004). Asumsi inilah yang merupakan salah satu analisis dikeluarkannya SKB 4 menteri baru – baru ini, yang salah satu pasalnya mengatur tentang upah dan kesejahteraan pekerja yang diserahkan/disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dna kenaikan upah buruh mengikuti petumbuhan ekonomi. Kesejahteraan buruh semakin dipinggirkan karena ketika krisis global terjadi maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sehingga kesejahteraan buruh pun akan ikut turun. Pemilik modal memiliki alas an untuk tidak menaikan upah, sengakan buruh semakin terpuruk karena kebutuha riil justru semakin naik.

                   Ditinjau dari kesejahteraan buruh, LMF akan menghasilkan degradasi kesejahteraan dan kondisi kerja buruh (pengurangan upah dan kesempatan lembur, ketidakpastian kerja dan penghasilan). Kondisi kerja maka teus memburuk yang diikuti dengan menurunnya upah riil yang diterima buruh. Dengan LMF  memungkinkan korporasi menarik karyawan kontrak dimana buruh ini hanya menerima gaji poko saja, tidak ada tunjangan fasilitas dari perusahaan dan masih diperparag dengan keharusan mereka menyisihkan upah mereka untuk meberi komisi bagi penyalur.
                Bagi pemilik modal, fleksibilitas pasar tenaga kerja di yakini sabgai salah satu kebijakan public yang akan mendorong minat investor kembali menanamkan modal Indonesia. Sementara bagi buruh, ini adalah legitimasi dari praktek kekejaman hokum pasar yang selama ini sudah di praktekkan oleh banyak pemilik modal.


Kesejahteraan buruh
                buruh merupakan salah satu unsur pendukung dari unit produksi yang memegnag peran penting dalam menghasilkan suatu produk. Berbicara tentang produksi tidak akan lepas dari konteks upah dan kebutuhan fisik minimum buruh. Dalam suatu proses produksi, buruh hanya akan menghasilkan produktivitas yang tinggi apabila keadaan fisiknya cukup memadai. Hal itu akan bias tercapai apabila upah yang diterimanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum. Dengan kata lain, membicaraa buruh dalam kaitannya dengan produktivitas mereka tidak dapat mengabaikan peranan upah dan kebutuhan fisik minimum. Kesejahteraan buruh kemudian menjadi poin penting ketika kita membicarakan tentang buruh. Merujuk pada UU ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 kesejahteraan buruh meliputi upah, kesejahteraan dan jaminan social tenaga kerja.
                upah adalah hak pekerja yang di terima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, di tetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya. Upah seharusnya mencakup semuanya tetapi kenyataannya upah hanya merupakan gaj pokok tanpa memperhitungkan tunangan, itupun masih jauh dari kebutuhan rill pekerja.
                kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan atau keperluan yang bersifat jamaniah dan rohaniah, baik selama maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja. Kenyamanan dan ketentraman dengan berbagai fasilitas yang diseiakan oleh pemilik modal merupakan salah satu bentuk kesejahteraan yang di terima pekerja. Kondisi ii di lapangan sangat jarang ditemui, ruangan untuk buruh sangat jauh dari kesan nyaman, sudah untung apabila di beri ruangan serba guna seperti pekerja.

                Jaminan social tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang aau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau keadaan yang di alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil berslin, hari tua dan meninggal dunia. Ironisnya jaminan social tenaga kerja ini sangat jarang dipenuh oleh pemilik modal dengan alasan akan menambah biaya prodiksi, kalaupun ada maka yang di dapatkan  tidak sebanding dengan apa yang buruh rasakan. Minimnya upah juga turut mempengaruhi mininya jaminan social tenaga kerja.
                Di Indonesia, kesejahteraan buruh secara kasat mata di lihat dari upah minimum yang di berikan, baik itu upah minimum rregional , upah mnimum provinsi atau upah minimum kabupaten. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal memberikan balas jasa kepada buruh. Upah minimum  ini di katakana mencerminkan “hubungan” antara buruh, pemilik modal dan Negara. Tetapi, dalam penetapan upah minimum ini peran negaralah yang justru lebih menonjl. Menurut Squire (1982) penetapan upah minimum merupakan cirri menonjol intervensi Negara pada pasr tenaga kerja di banyak Negara sedang berkembang. Tujuan upah minimum adalah menghilangkan bagian dari kemiskinan yang di sebabkan adanya tingkat upah yang tidak memungkinkan pekerja memperoleh penghasilan untuk mencapai standar minum kehidupan. Ketidakmungkinan ini di sebabkan oleh surplus tenaga kerja, sumber daya manusia yang rendah dan kondisi fisik buruh. Upah minimum di rancang untuk menghilangkan kompetisi yang tidak fair(Blum, 1978). Tetapi hal ini di bantah oleh Stigler (Rochadi, 1994) bahwa justru peraturan mengenai upah minimum mengintervensi mekanisme pasar tenaga kerja dan mengabaikan srikat buruh.
                kebijakan upah minimum secara structural justrumengntungkan pengusaha di karenakan: pertama, upah minimum nominalnya d bawah upah rill.
                Buruh di tuntut untuk bekerja keras dengan jam kerja panjang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Buruh masih hidup subsisten hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidunya sehari-hari pun masih mepet. Kondisi ini kemudian di sikapi banyak nburuh terutama yang sudah berkeluarga dengan menitipkan anaknya ke orang tua mereka. Kedua, tidak terdapat alat control yang memadai untuk optimalisasi upah minimum, sehigga pemilik modal berada pada posisi yang mengkuntungkan dan bebas menentukan upah yang mereka byarkan. Ketiga, mekanisme penentuan upah minum masih banyak yang mendominasi oleh aparat Negara. Bahkan yang mewakili merek dalam serikat buruh pun bukan bagian dari buruh, hanya merupakan wakil mereka yang tidak bias di harapkan untuk mengakomodir aspirasi buruh.
                Kenyataannya, upah minimum sangat-sangat minim sehingga tidak mampu mencakupi kebutuhan rillnya, ketika upah jauh dari cukup? Rentemir menjadi cara yang paling mudah, buruh biasa meminjam “gali lobang tutup lobang”, yangakhirnya justru menjebak mereka dalam perangkap utang, selain itu akibat ketidakmampuan mereka membeli barang-barang yang mereka idamkan akhirnya mereka terjebak pada konsumerisme dengan kredit. Sistem ini di satu sisi akan sangat membantu mereka memperolah barang-barang yang mereka idamkan, tetapi disisi lain justru semakin memperparah kondisi ekonomi mereka.
                cara lain, buruh kebanyakan meluangkan waktu mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan, baik dari pertanian maupun sector-sektor informal, tetapi hal ini akan menambah jam kerja mereka, mereka harus kerja keras yang akhirnya ustru menyebabkan kesehatan menjadi sangat rentan. Ketika semua hal tidak mampu menutup kebutuhan mereka, masuklah para buruh itu dalam perangkap judi sehingga melakukan tindak criminal.
                Masalah-masalah social inilah yang merupakan ekses langsung dari ketiadaan kesejahteraan buruh yang memadai. Lingkungan social yang buruk, jaminan social yang minim hingga prasarana kesehatan yang tidak memadai selalu lekat pada diri buruh, Hanya “utopia” untuk memperbaiki hiduplah yang selama ini menyemangati mereka dan justru menyokong perekonomian Negara.

Nama          : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EBO9/ 27211179
Tahun          : 2011-2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar