REVIEW 6
Menakar Kesejahteraan Buruh:
Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi
oleh : Grendi Hendrastomo
Abstrak
Artikel
ini bertujuan untuk menganalisasi ketimpangan anatara kesejahteraan dengan
peluh kerja buruh, melihat hubungan antar negara, pengusaha dan buruh, serta
mengajukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Kesejahteraan buruh muthklak
di perjuangka untuk lebih memanusiakan
buruh. Kebijakan yg diambil negara selayaknya tidak mengorbankan kaum buruh.
isu tentang pemburuhan
sampai saat ini merupakan salah satu isu sexi yg sering kali di jaaadikan alat
tawar politik maupun obyek pencitraan. Buruh menjadi komoditas jualan parpol yg
disatu sisi penopang dan menjadi tulang punggung perekonomian nasioanal tetapi
di satu sisi pandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yg tak
kunjung membaik. Desakkan dari serikat pekerja maupun perundingan antara
pengusaha, pemerintah dan burh selalu berujung pada kegagalan.
Outsourcing, Pemutusan
hubungan kerja (PHK), upah minimum regional (UMR), upah yg tak kunjung di bayar
hingga kemiskinan menghinggapi kaum buruh menjadi permasalahan akut yg tak
kunjung ada jalan keluarnya. Satu kesamaan diantara semua masalah, buruhlah yg
harus menanggung semuanya.
Peningkatan kesejahteraan menjadi dorongan buruh
untuk terus berjuang.
Kata kunci: Kesejahteraan, Buruh, Kemiskinan,
Marginalisasi
Pendahuluan
pemberitaan mengenai buruh
tidak pernah berhenti menghiasi media kita. Belum selesai masalah pertama,
muncul masalah kedua, ketiga dan seterusnya yang tak kunjung menemukan titk
temu. Permaslahan yang melingkupi buruh tersebut mulai dari kesejahteraan
dengan tolak ukur utama jumlah upah buruh, sistem kontrak dan outsourcing, PHK
dan masih banyak masalah lain yang kemudian memunculkan marginalisasi buruh.
Kondisi ini juga semakin di perparah dengan ketidakberpihakan pemerintah kepada
buruh. Pemerintah yang diharapkan menjadi dewa penyelamat, justru terlalu
banyak menyampaikan retorika tanpa ada solusi, “minder” pada pengusaha (pemilik
modal) dan buruh di jadikan komoditas politik.
ironisnya, di satu sisi
buruh selalu di marginalkan, tetapi di sisisi lain buruhlah yg memiliki
kontribusi untuk menopang perekonomian negara ini. Padahal, buruh itu besar
sekali perannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga
sebagai pelaku utama pembangunan peradaban. Karena jumlahnya yg besar, maka buruh
juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat indonesia secarakeseluruhan. Buruh lah yang
menggerakkan sektor ekonimi bawah yang notabene memiliki kontribusi yang luar
biasa dalam perekonomian negara sehingga menampakkan hasil yang “membanggakan”.
kontribusi buruh yang
demikian besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dari tahun
ke tahun selalu muncul permasalahan buruh terutama yang berkaitan dengan
kesejahteraan. Kondisi ini kemudian di perparah dengan peraturan yang di
keluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh. SKB 4 Menteri tentang
pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi
perkembangan perekonomian global, yang baru-baru ini di keluarkna akibat resesi
global menambah runyam masalh tentang buruh.
tidak bisa di pungkiri
memang, di antara banyak permasalahn seputar buruh, permasalahan mengenai
kesejahteraan merupakan masalah yang sensitif yang selalu di bicarakan karena
menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan
kalsik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka. Hal ini
dikarnakan upah yang mereka terima tidak sebanding/mencukupi untuk kebutuhan
rill. Kalau di ibaratkan kenaikkan harga kebutuhan pokok berlari sedangkan upah
buruh justru jalan di tempat tidak ada peningkatan atau malah justru mundur.
Dari data BPS sebagai gambaran tahun 2006 untuk hidup layak sederhana di
Jakarta, seseorang harus mengeluarkan uang antara 1,5-2 jt per bulan yang di
gunakan intuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan tempat tinggal
dan transportasi. Dibandingkan kemudian dengan UMR jakarta yang hanya sebesar
IDR 950.000. mungkinkah kemudian orang dapat hidup layak dengan upah sebesar
itu? Bagaimana mereka menutup kekurangannya hampir 100%?
secara umum, para buruh
terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung pada kemiskinan akut sebagai
konsekuensi dari rendahnya uoah yang diterima. Hal ini terliahat dari terms of
trade(niali tukar) buruh yang terus menerus mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Terms of trade yang menurun di tunjukkan dengan perbandingan upah dan
harga yang semakin mengecil(sunu, 2002(. Merujuk pada laporan organisasi buruh
dunia (ILO), pada tahun 2001 hampir satu milyar orang atau 1/3 dari populasi
angkatan kerja adalah buruh/pekerja dengan upah rendah yang tidak dapat
mendukung diri mereka dari keluarga mereka.
kemudian posisi buruh yang
serba sulit juga di sebabkan oleh hubunagn antara buruh dan pengusaha.
Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki pervbedaan kepentingan
yang sangat mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha
adalah untuk mendapatkan upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah
ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang di harapkan tidak hanya sekedar untuk
memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali ke esokan harinya (sekedar
hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya
secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus
mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama.
dua kepentingan yang
bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara
buruh dan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada di tangan pengusaha. Solusi yang
mungkin bisa membantu buruh adalah munculnaya peran pihak ketiga yang mampu
menjembatani sekaligus memiliki kekuatan (legalitas) untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini di pegang oleh
pemerintah. Kenyataanya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa
bahkan cenderung di stir pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya
sendiri. Tulisan ini kemudian akan lebih menyoroti mengenai kesejahteraan
buruh, masalah yang menyertainya hingga solusi yang mungkin bisa di pakai.
Apa yang dimaksud dengan “Buruh”?
sebelum membahas lebih
lanjut tentang kesejahteraan buruh, perlu di jabarkan apa sebenarnya yang
di,maksud dengan buruh itu sendiri. UU No.22 tahun 1957(tentang penyelesaian
perselisihan perburuhan) mendefinisikan buruh adalah mereka yang bekerja pada
majikan dan menerima upah. Menurut ILO,
buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan
mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan
yang di bebankan padanya, dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat
produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa dikatakan sebagai
buruh. Konsepsi ini juga sejalan dengan pemikiran Marx tentang borjuis dan
proletar, pada hakekatnya di dunia ini hanya ada 2 kelas yaitu borjuis dan
proletar, borjuis adalah pemilik alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena
sebenranya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar.
dari berbagai sumber
definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerha
di bawah pemerintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri
sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini
sengaja di kaburkan di jamar orde Baru sebagai upaya pengkotak-koyakan dan
pemecah belahan, sehingga definisi terpecah buruh, pekerja, pegawai, kaum
profesioanal, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatn buruh tidak bersatu sehingga
tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politiuk penguasa saat itu.
Di
indonesia, pada tataran praksis ketika kita berbicara tentang buruh, maka yang
dimaksud adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang selalu di identikkan
dengan kemiskianan, kumuh, untuk makan harus “gali lobang tutp lobang”,
termarginalkan. Buruh inilah yang kemudian di lihat dari tingkat
kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat.
Nama : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EB09/27211179
Tahun : 2011-20012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar