Kamis, 27 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3(BAGIAN 1)




REVIEW 6
Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi

oleh : Grendi Hendrastomo


Abstrak

                Artikel ini bertujuan untuk menganalisasi ketimpangan anatara kesejahteraan dengan peluh kerja buruh, melihat hubungan antar negara, pengusaha dan buruh, serta mengajukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Kesejahteraan buruh muthklak di perjuangka  untuk lebih memanusiakan buruh. Kebijakan yg diambil negara selayaknya tidak mengorbankan kaum buruh.

                isu tentang pemburuhan sampai saat ini merupakan salah satu isu sexi yg sering kali di jaaadikan alat tawar politik maupun obyek pencitraan. Buruh menjadi komoditas jualan parpol yg disatu sisi penopang dan menjadi tulang punggung perekonomian nasioanal tetapi di satu sisi pandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yg tak kunjung membaik. Desakkan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan burh selalu berujung pada kegagalan.
                Outsourcing, Pemutusan hubungan kerja (PHK), upah minimum regional (UMR), upah yg tak kunjung di bayar hingga kemiskinan menghinggapi kaum buruh menjadi permasalahan akut yg tak kunjung ada jalan keluarnya. Satu kesamaan diantara semua masalah, buruhlah yg harus menanggung semuanya. 
Peningkatan kesejahteraan menjadi dorongan buruh untuk terus berjuang.


Kata kunci: Kesejahteraan, Buruh, Kemiskinan, Marginalisasi

Pendahuluan

                pemberitaan mengenai buruh tidak pernah berhenti menghiasi media kita. Belum selesai masalah pertama, muncul masalah kedua, ketiga dan seterusnya yang tak kunjung menemukan titk temu. Permaslahan yang melingkupi buruh tersebut mulai dari kesejahteraan dengan tolak ukur utama jumlah upah buruh, sistem kontrak dan outsourcing, PHK dan masih banyak masalah lain yang kemudian memunculkan marginalisasi buruh. Kondisi ini juga semakin di perparah dengan ketidakberpihakan pemerintah kepada buruh. Pemerintah yang diharapkan menjadi dewa penyelamat, justru terlalu banyak menyampaikan retorika tanpa ada solusi, “minder” pada pengusaha (pemilik modal) dan buruh di jadikan komoditas politik.
                ironisnya, di satu sisi buruh selalu di marginalkan, tetapi di sisisi lain buruhlah yg memiliki kontribusi untuk menopang perekonomian negara ini. Padahal, buruh itu besar sekali perannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangunan peradaban. Karena jumlahnya yg besar, maka buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat  indonesia secarakeseluruhan. Buruh lah yang menggerakkan sektor ekonimi bawah yang notabene memiliki kontribusi yang luar biasa dalam perekonomian negara sehingga menampakkan hasil yang “membanggakan”.
                kontribusi buruh yang demikian besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dari tahun ke tahun selalu muncul permasalahan buruh terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian di perparah dengan peraturan yang di keluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh. SKB 4 Menteri tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global, yang baru-baru ini di keluarkna akibat resesi global menambah runyam masalh tentang buruh.
                tidak bisa di pungkiri memang, di antara banyak permasalahn seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah yang sensitif yang selalu di bicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan kalsik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka. Hal ini dikarnakan upah yang mereka terima tidak sebanding/mencukupi untuk kebutuhan rill. Kalau di ibaratkan kenaikkan harga kebutuhan pokok berlari sedangkan upah buruh justru jalan di tempat tidak ada peningkatan atau malah justru mundur. Dari data BPS sebagai gambaran tahun 2006 untuk hidup layak sederhana di Jakarta, seseorang harus mengeluarkan uang antara 1,5-2 jt per bulan yang di gunakan intuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan tempat tinggal dan transportasi. Dibandingkan kemudian dengan UMR jakarta yang hanya sebesar IDR 950.000. mungkinkah kemudian orang dapat hidup layak dengan upah sebesar itu? Bagaimana mereka menutup kekurangannya hampir 100%?
                secara umum, para buruh terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung pada kemiskinan akut sebagai konsekuensi dari rendahnya uoah yang diterima. Hal ini terliahat dari terms of trade(niali tukar) buruh yang terus menerus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Terms of trade yang menurun di tunjukkan dengan perbandingan upah dan harga yang semakin mengecil(sunu, 2002(. Merujuk pada laporan organisasi buruh dunia (ILO), pada tahun 2001 hampir satu milyar orang atau 1/3 dari populasi angkatan kerja adalah buruh/pekerja dengan upah rendah yang tidak dapat mendukung diri mereka dari keluarga mereka.
                kemudian posisi buruh yang serba sulit juga di sebabkan oleh hubunagn antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki pervbedaan kepentingan yang sangat mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapatkan upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang di harapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali ke esokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama.
                dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka  berada di tangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnaya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan (legalitas) untuk menekan  pengusaha yang dalam posisi ini di pegang oleh pemerintah. Kenyataanya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di stir pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Tulisan ini kemudian akan lebih menyoroti mengenai kesejahteraan buruh, masalah yang menyertainya hingga solusi yang mungkin bisa di pakai.

Apa yang dimaksud dengan “Buruh”?
                sebelum membahas lebih lanjut tentang kesejahteraan buruh, perlu di jabarkan apa sebenarnya yang di,maksud dengan buruh itu sendiri. UU No.22 tahun 1957(tentang penyelesaian perselisihan perburuhan) mendefinisikan buruh adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah. Menurut ILO,  buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan yang di bebankan padanya, dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa dikatakan sebagai buruh. Konsepsi ini juga sejalan dengan pemikiran Marx tentang borjuis dan proletar, pada hakekatnya di dunia ini hanya ada 2 kelas yaitu borjuis dan proletar, borjuis adalah pemilik alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena sebenranya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar.
                dari berbagai sumber definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerha di bawah pemerintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja di kaburkan di jamar orde Baru sebagai upaya pengkotak-koyakan dan pemecah belahan, sehingga definisi terpecah buruh, pekerja, pegawai, kaum profesioanal, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatn buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politiuk penguasa saat itu.
                                Di indonesia, pada tataran praksis ketika kita berbicara tentang buruh, maka yang dimaksud adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang selalu di identikkan dengan kemiskianan, kumuh, untuk makan harus “gali lobang tutp lobang”, termarginalkan. Buruh inilah yang kemudian di lihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat.

Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-20012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar