Selasa, 16 April 2013

REVIEW JURNAL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (BAGIAN 4)


Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan  Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)

HARIS RETNO SUSMIYATI

REVIEW 4





PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedudukan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi sangan penting, Karena berdasarkan ketentuan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001 mengharuskan setiap kegiatan usaha hulu dalam pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh badan usaha atau badan usaha tetap berdasarkan kontrak kejasama dengan Badan Pelaksana. Salah satu bentuk kontrak yang dapat di buat adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Bahkan jika ada pengusahaan pertambangan migas tanpa didasari kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana maka dapat dikatakan sebagai illegal dan dapat dikenakan hukuman pidana dan denda.


B. Saran

1.       Dilakukan kaji ulang terhadap ketentuan para pihak yang mewakili Negara dalam melakukan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Karena berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 yang menentukan bahwa Negara diwakili Badan Pelaksana yang merupakan bagian dari pemerintah, maka akan dapat membahayakan kepentingan nasional. Hal ini disebabkan jeminan atas kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) telah diperluas. Berdasarkan kontrak ini, maka jaminan seluruh asset pemerintah di dalam pola hubungan Negara dengan perusahaan. Karena yang menandatangani kontrak berdasarkan ketentuan tersebut dari pihak Indonesia adalah Badan Pelaksana (BP Migas) yang merupakan bagian pemerintah.
2.       Perlu adanya pelibatan Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayah eksplorasi migas dalam proses kesepakatan Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), karena daerah da masyarakat di sekitar wilayah pertambangan lah yang harus menanggung beban resiko dan menerima dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.
3.       Prosentae bagian daerah harus juga memperhitungkan biaya sosialyang di tanggung akibat beban resiko dan dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas. 

REVIEW JURNAL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (BAGIAN 3)


Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan  Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)

HARIS RETNO SUSMIYATI

REVIEW 3




D. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Migas di Inonesia

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah production  sharing contracr (PSC). Istilah kontrak production sharing ditemukan dalam pasal 12 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1971 tentang pertamina jo Undang-undang nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. PERTAMINA menjadi pemegang kuasa pertambangan atas seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia., sepanjang mengenai pertambangan migas. Dalam pelaksanaanya PERTAMINA yang kurang modal dan teknologi di mungkinkan bekerjasama dengan pihk lain dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas dalam bentuk contract production sharing (pasal 12 UU Pertamina).
Sementara itu dalam pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi , istilah yang di gunakan adalah dalam bentuk kontrak  kerjasama ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama lainnya.
kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan model yang di kembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikasikan dalam undang-undang no 2 tahun 1960. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang di adakan diantara  pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemili tersebut untuk meyelenggarakan usaha pertanian I atas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang kemudian dikembangkan menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) untuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi. ( Rudi M. Simamora, 2000).
Istilah kontrak kerjasama menurut ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak an as bumi adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan dalam pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract), tetapi di fokuskan pada konsep kerja sama di bidang minyak dan gas bumi.
undang-indang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menjelaskan pengertian Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), namun pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 1 PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang syarat-syarat pedoman kerjasama  kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)menurut ketentuan tersebut adalah “kerjasama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.”
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dalam pengusahaan pertambangan Migas dirancang sedemikian rupa untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi dan sumberdaya manusa khususnya Pertamina dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi. (Rudi M. Simamora, 2000).
berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 1 dalam undangundang Nomor 22 tahun 2001, pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi khususnya sektor kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan di kendalikan melalui kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang dimaksudn menurut ketentuan pasal 1 ayat  19 undang-undang tersebut adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya diperguanakn untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kerjasam dalam bidang minyak dan gas bumi dapat di bedakan menjadi dua yaitu :

1.       Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract);
2.       Kontrak-kontrak bentuk lainnya;

Ketentuan tersebut dipertegas dalam pasal 11 ayat 1 yang mengharuskan setiap kegiatan usaha hulu dalam pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh badan usaha atau badan usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana.
sehingga jika ada pegusahaan pertambangan migas tanpa didasari Kontrak Kerjasama dengan Badan Pelaksana maka dpat dikatakan sebagai illegal. Ancaman hukumannya secara tegas di tuangkan dalam ketentuan pasal 52, yang menyatakan bahwa setiap orang yang mealakukan eksplorasi dan atau eksploitasi tanpa mempunyai kontrakkerjasama dengan Badan Pelaksana dapat dikenkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun enda paling tinggi Rp 60.000.000.000,- (enam puluh miliar rupiah).

1.       Prinsip Pokok Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Menurut pendapat Salim HS, kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) adalah perjanjian atau kontrak yang di buat antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dibidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil. (2004:260).
Kontrak Bgi Hasil (Production Sharing Contract) mempuyai beberapa cirri utama (Rudi M. Simamora, 2000), yaitu :
a.       Manajemen ada di tangan Negara (perusahaan Negara)
Negara ikut serta dan megawai jalannya operasi pertambangan minyak dan gas bumi secara aktif dengan tetap meberikan kewenangan kepada kontraktor untuk brtindak sebagai operator dan menjalankan operasi I bawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan mekanisme prsetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh ana persetujuan Negara atau perusahaan Negara diperlukan dalam proses pengambilan keputusan.
b.      Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)
kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan,yang kemudian di gantikembali dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Besaran penggantinya biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery). Bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi.
c.       Pembagian Hasil Produksi (Production split)
Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbed-beda tergantung dari berbagai factor.
d.      Pajak (tax)
Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor, besarannya dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi antara Negara dengan kontarktor. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka semakin besar pajak penghasilan yang dikenakan atas kontraktor akan smain kecil.
e.      Kepemilikan asset ada pada Negara (perusahaan Negara)
Umumnya semua peralatan yang di perlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik perusahaan Negara segera seelah di beli atau setelah di depresiasi. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang di sewa karena kepemilikannya memang idak pernah beralih kepda kontaktor.

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22  Tahun 2001, pertmbangan minyak dan gas bumi mangacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan perjanjian bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Uasaha atau Badan Usaha Tetap.
Tiga prinsip pokok Kontrak Bagi Hail (Production Sharing Contract) berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, memuat persyaratan :
a.       Kepemilikan sumber daya alam tetap ditangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c.       Modal dan rsikoseluruhnya di tanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) berbentuk tertulis, yang dibuat antara Pelaksana dengan  Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap. Substansiyang harus dimuat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).


2.       Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, pertambangan minyak an gas bumi mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) merupakan perjanjian bagi hasil di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor.
Tahun 1960 disahkannya Undang-undang No. 44 Prp tahun 1960 yang mengamanatkan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya dilaksanakan oleh perusahaan Negara. Oleh karena itu didirikanlah PN Pertamina berdasarkan PP no. 27 tahun 1968.
Erdasarkan UU No. 44 Prp tahun 1960, dalam pasal 6 undang-undang tersebut menetapkan apabila diperlukan Menteri dapat emenujuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan guna melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan Negara. Dengan demikian perusahan asing harus berubah status menjadi kontraktor peusahaan Negara.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001maka tugas Pertamina dalam mewakili Negara daam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) tidak ada lagi. Peran tersebut beralih kepada Badan Pelaksana yang merupakan bagian dari pemerintah. Dengan adanya pengaturan baru ini maka status Pertamina menjai setara dengan perusahaan Minyak swasta domestic maupun asing.
Namun sejak di berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan P elaksana dengan Badan Usaha atau Badan Uaha Tetap.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 merubah para pihak yang terkait dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), kalau sebelumnya adalah Pertamina sebagai perusahaan Negara dan perusahaan migas sebagai kontraktor, maka setelah berlakunya UU Migas tersebut maka para pihak yang ada dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), adalah Negara yang diwakili badan pelaksana sedangkan kontraktornya adalah badan usaha /badan usaha tetap.
Badan pelaksana seperti yang di atur dalam pasal 1 ayat 23 adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Sedangkan enurut ktentuan pasal 1 ayat 17 pengertian badan usaha adalah perusahaan berebentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan di dirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melalkukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berada di Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut membawa implikasi dapat membahayakan kepentingan national. Hal ini disebabkan jaminan atas kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) telah diperluas. Jika berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 44 Tahun1960 hanya dijamin oleh asset BUMN (Pertamina)sebagai pihak penandatangan kontrak di dalam pola hubungan perusahaan minyak domestic dan perusahaan asing. Tetapi berdasarkan ketentuan UU Migas Nomor 22 tahun 2001, kontrak pengusahaan migas diubah dengan jaminan seluruh asset pemerintah di dalam pola hubungan Negara dengan perusahaan. Karena yang menandatangani kontrak bedasarkan ketentuan tersebut dari pihak idonesia adalah Badan Pelaksana (BP Migas) yang merupakan bagian pemerintah.

Selain itu tidak ada ketentuan pelibatan Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayah eksplorasi migas dalam proses kesepakatan Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Bagian daerah hanya dalam hal mendapat bagian penerimaan Negara. Pemerinah Daerah seharusnya dilibatkan dalam proses Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), karena daerah dan masyarakat disekitar wilayah pertambanganlah yang harus menanggung beban resiko dan menerima dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.

3.       Obyek dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang di atur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas : (1) Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga. Berdasarkan ketentuan tersebut Nampak bahwa adanya pemisahan secara tegas dua sektor dalam pengusahaan pertambangan migas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Obyek yang dapat diperjanjikan dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) menurut ketentuan pasal 5 (1), pasal 6 (1) serta pasal 11 (1) adalah khusus kegiatan usaha hulu dalam pertambangan migas, yang meliputi eksplorasi da eksploitasi. Ketentuan dalam Undang-undang ini khususnya pasal 1 ayat 8 dan 9, menerangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wlayah kerja yang ditentukan. Sedangkan yang dimaksud eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

4.       Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, yaitu : (1) membayar penerimaan Negara yang berupa pajak meliputi pajak-pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah; (2) membayar penerimaan Negara bukan pajak yang meliputi bagian Negara, pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi dan bonus-bonus. Sedangkan hak badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha adalah mendapatkan bagian keuntungan dari hasil produksi setelah dikurangi bagian Negara.
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan usaha tetap. Mengacu kepada pasal 66 ayat 2 UU Nomor  22 tahun 2001, maka jelas di dalam pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina masih berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 16 Peraturan Pemerintah 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan  Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Mnyak dan Gas Bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan Enrgi.

Penentuan bagi hasil minyak dan gas bumi jika mengacu pada kontrak bagi hasil generasi III (Salim H.S : 2004) adalah :
a.       Minyak : 85% untuk badan pelaksana; 15% untuk dbadan usaha dan badan usaha dan badan usaha tetap; dan
b.      Gas : 70% untuk badan pelaksana dan 30% untuk badan usaha dan atau badan usaha tetap.

Lahirnya UU No. 25 tahun 1999 jo Undang-undang No. 32 Tahun 2004, menjadi tonggak bagi daerah untuk mendapatkan bagian dari penerimaan Negara dari hasil minyak dan gas bumi. Bagian daerah dari sumber daya alam secara khusus diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Salah satu bentuk dana perimbangan yang menjadi bagian daerah adalah Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, penerimaan pertambangan minyak dan gas bumi yang di bagikan ke daerah adalah penerimaan Negara dari smber daya alam pertambangan minyak dan gas bumi dari wilayah daerah yang berangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

Pembagian penerimaan berdasarkan pasal 14 (e dan f) dan 19 (2,3,4) dari pertambangan minyak dan gas bumi di bagi dengan imbangan :
a.       Pembagian penerimaan dari pertambangan minyak : 84,5% untuk pemerintah pusat; 15,5% untuk daerah. Dari pembagian sebanyak 15%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 3%, kabupaten/kota penghasil sebesar 6%, dan bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 6%
b.      Pembagian penerimaan dari pertmbangan Gas Bumi : 69,5% untuk pemerintah pusat; 30,5% untuk daerah. Dari pembagian sebanyak 30,5%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 6% bagian kabupaten/kota penghasil sebanyak 12%, dan bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12%.
Persentase bagian daerah harus juga memperhitungkan biaya social yang di tanggung akibat beban resiko dan dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas. Namun prakteknya pembagian hasil produksi migas tersebut bagi daerah penghasil sering dirasa terlalu kecil, hal ini disebabkan dampak dan resiko eksplorasi dan eksploitasi harus di tanggung oleh daerah penghasil migas. Dampak dan resiko yang harus di tanggung tidak sedikit. Fakta menunjukkan bahwa daerah penghasil migas justru masyaraktnya hidup dalam kemiskinan.

REVIEW JURNAL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (BAGIAN 2)


Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan  Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)

HARIS RETNO SUSMIYATI

REVIEW 2



PEMBAHASAN

A.   Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia

Minyak (Petroleum) berasal dari kata Petro yang berart Rock (batu) dan Leum yang berarti Oil (minyak). Minyak dan gas sebagian besar terdiri dari campuran carbon dan hydrogen sehingga disebut dengan hydrocarbon yang terbentuk mlalui siklus alami dan dimulai dengan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang terperangkap selama jutaan tahun yang umumnya terjadi jauh dibawah dasar lautan dan menjadi minyak dan gas akibat pengaruh kombinasi antara tekanan dan temperatur yang dalam kerak bumi akhirnya berkumpul membentuk reservoir-reservoir minyak dan gas bumi.(Anonim,2001).

Konsepsi dasar pengusahaan pertambangan migas di Indonesia adalah paal 33 ayat 3 UUD 1945 dinyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-bsar kemakmuran rakyat.”
Kewenangan Negara selanjutnya dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2 UUPA No 5 tahun 1960, yang meliputi :

a)      Mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b)      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c)       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sedangkan pada pasal 2 ayat 3 UUPA No 5 tahun 1960, menyatakan bahwa “wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai dari Negara pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara huku Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Pasal 22 UUD 1945, menjadi dasar bagi eksploitasi sumber daya alam yang ada di Indonesia. Konteks “Hak Menguasai Negara” menjadi dasar untuk Negara memiliki kekuasaan yang penuh untuk pengelolaan sumber daya Indonesia. Migas sebagai cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak termasuk sumber daya alam yang dikuasai Negara.
Penguasaan Negara atas sumber daya minyak dan gas bumi kembali di tegaskan dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang di kuasai oleh Negara. Selanjutnya pasal 2 dan 3 mengatur bahwa penguasaan oleh Negara tersebut di selenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana.
Secara khusus pertambangan Minyak dan Gas Bumi diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak DAN Gas Bumi medefinisikan minyak bumi adalah hasil prose salami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit dan bitumen yang di peroleh dari proses penambangan, tetpi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk gas padat yang diperoleh dari kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Gas bumi menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi adalah hasil prose salami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.
Penyelenggaaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 2, didasarkan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastia hukum serta berwawasan lingkungan.
Ketentuan Undang-undang  Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 4 Ayat 1 menyatakan bahwa Mnyak dan Gas Bumi merupak sumber daya lam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang di kuasai oleh Negara. Pasal 2 dari ketentuan tersebut menentukan bahwa penguasaan Negara sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Selanjutnya ketentuan ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangn membentuk badan pelaksana.
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas: (1) Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga.


B.  Pengertian Kontrak

Kontrak sering di anggap sebagai perjanjian yang di buat secara tertulis. Dalam pengertian yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan  hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sedang kontrak komersil dalam pengertiannya yang sederhana adalah kesepakatan yang I buat oleh 2(dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. (Hasanddin Rahman,2003).
Menurut Balck, Henry Chambell, kontrak adalah suatu kesepakatan yang di perjanjikan (promissory agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, momodifikasi atau menghilangkan  hubngan hukum (Hasanuddin Rahman,2003).
Huku perjnjian dalam bahasa Belanda “het verbintenissenrecht” yang diatur dalam Buku III Bugerlijk Wetboek. Dalam pengertian ini termasuk perjanjian yang bersumber dari Undang-undang. Istilah verbintenissen dari Bugerjilk Wetboek dapat di terjemahkan sebagai “perikatan-perikatan”. Dalam system BW perikatan ini menjadi dua golongan (Wirjono Projodikoro, 2000), yaitu :
a.       Perikatan-perikatan yang bersumber pada persetujuan (overenkomst)
b.      Perikatan-perikatan yang bersumber pada undang-undang (West).

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1352 BW, Perikatan yang bersumber pada undang-undang di bagi menjadi dua golongan :
a.       Perikatan yang bersumber pada undang-undang berkala(uit de wet allen)
b.      Perikatan-perikatan yang bersumber pada undang-undang berdasar atas perbuatan orang manusia (uit de wet tengvolge vans’menshen toeder).
Berdasarkan ketentuan pasal 1233 BW, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut maka dapat diketahui sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang.
Pengertian perjanjian menurut ketentuan paal 1313 BW “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan  dengn mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata umumnya menganggap bahwa definisi perjanjian tersebut tidak lengkap. (Mariam Darus dkk, 2001).
Perjanjian menurut Wirjono Projodikoro adalah suatu perhubunga hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntuk pelaksanaan janji itu. (2000:4).

C.      Kontrak Pengusahaan Pertambangan di Dunia

Menurut Rudi M. Simamora, perjanjian/kontrak pengusahaa pertambangan minyak dan gas bumi yang ada di dunia dengan memperhatikan struktur kontrak dan legal terms yang melingkupinya  dapat di bagi dalam 5 bentuk utama yaitu (Rudi M. Simamora 2000:37) :
1.       Konsensi (Concession);
2.       Kontrak Production Sharing (Production Sharing Contract)
3.       Kntrak Jasa Resiko (Risk Service Contract);
4.       Kontrak Jasa (Service Contract)
5.       Usaha Patungan (Joint Venture)
Berdasarkan aspek hubungan kontraktual dan kepemilikan sumber daya mineral (termasuk minyak dan gas bumi) sebenarnya diantara bentuk- bentuk perjanjian diatas hanya terdapat dua model (Rudi M. Simamora 2000) yaitu :
1.       Bersifat konsesioner, yang termasuk bentuk ini adalah konsensi. Konseni bersifat konsensioner artinya pemegang konsensi bukan merupakan kontraktor dari Negara dalam mengusahakan pertambangan minyak dan gas bumi, tetapi menjalankan sendiri ha pertambangan minyak dan gas bumi dan menguasai hasil produksinya berdasarkan konsensi (izin) yang diperolehnya.
2.       Bersifan Kontraktual. Contract production sharing, risk service contract dan service ontract termasuk yang bersifat kontraktual, dimana perusahaan penandatangan perjanjian merupakan kontraktor dari Negara atau perusahaan Negara yang menjalankan usaha pertambangan minyak dan gas bumi menurut perjanjian yang di tanda tangani di bawah control Negara atau perusahaan Negara. Status kontraktor membawa konsekuensi bahwa hasil produksi tetap berada pada Negara.

Sedangkan untuk perjanjian joint venture dan bentuk-bentuk perjanjian modifikasi lainnya yang mungkin di buat akan di dasarkan pada salah satu bentuk diatas, perjanjian konsensioneratau kontraktual (Rudi M. Simmora 2000).  

REVIEW JURNAL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (BAGIAN 1)

Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan  Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)

HARIS RETNO SUSMIYATI

REVIEW 1



ABSTRACT
Oil and  Natural Gas Mining is  strategic  commodity which  become one of  the Indonesian earnings
pledge. According  to ability of state,  there  are various model of mining  effort, one of mining  effort
called Production Sharing  Contract on  Oil and Natural Gas Mining.  Production Sharing Contract
is  important  on  Oil  and  Natural  Gas  Mining,  because  according  to  Undang-undang  Nomor  22
Tahun 2001 tentang Minyak dan  Gas Bumi, every Oil and Natural  Gas Mining must be  conducted
by an  executive body based on  cooperation contract. Even if  there is  Oil and  Natural Gas Mining
done  without  cooperation  contract  with  executive  body  can  be  told  as  illegal  mining  and
punishable. L


Pendahuluan

A.  Latar Belakang Masalah

Pertambangan migas sejak dahulu telah menjadi perhatian penting bahkan sebelum kemerdekaan. Hal ini dipicu juga oleh perkembangan revolusi industri yang merubah wajah dunia menjadi haus migas sebagai penopang mesin-mesin industri.
Selama puluhan tahun perekonomian Indonesia ditopang dari hasil pengerukan Minyak dan Gas Bumi. Pertambangan minyak dan gas bumi merupakan komunitas strategis yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi Indonesia. Posisis penting pertambangan minyak dan gas bumi terlihat pada data penerimaan negara bukan pajak dari tahun 2004-2005. Berdasarkan Nota Keuangan dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 Republik Indonesia (Tabel 1), penerimaan sumber daya migas dalam APBN 2004 tercatat sebesar 44.002,3 triliun sedangkan dalam APBN Perubahan sebesar 87.647,4 triliun. Angka tersebut di peroleh dari minyak bumi sebesar 28.247,9 triliun dalam APBN dan 63.863,9 triliun dalam APBN Perubahan. Sedangkan Gas Alam menyumbangkan 15.754,4 triliun dan 23.783,5 trilun masing-masing dalam APBN dan APBN Perubahan. Catatan penerimaan bukan pajak dari sektor sumber daya migas pada APBN tahun 2005 sebanyak 47.121,1 triliun, angka tersebut disumbangkan oleh sektor minyak bumi sebesar 31.855,7 triliun dan gas alam sebanyak 15.265,4 triliun.

Tabel 1. Penerimaan Negara Pajak


Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, realisasi penerimaan negara dari sektor migas dan tambang pada tahun 2006 diperkirakan akan naik menjadi Rp 220,8 triliun. Total penerimaan dari sektor migas naik 42 persen dibandingkan tahun 2005 yang sebesar 155,36 triliun. Peningkatan penerimaan tersebut dipicu tingginya harganya minyak dunia. (kompas,29 Desember 2006).
Tetapi yang tidak dapat dilupakan bahwa kondisi saat ini Indonesia berada dalam tahapan akhir pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai pasokan energi utama, sering disebut dengan istilah “net importer” dimana produksi minyak dan gas bumi tidak dapat lagi di ekspor bahkan tidak mencukupi lagi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Eksploitasi sumber daya alam sektor minyak dan gas bumi yang dilakukan secara terus menerus  mengakibatkan cadangan yang tersimpan di perut bumi semakin menipis, untuk Kalimantan Timur diperkirakan 2014 cadangan migasnya diperkirakan habis.
Pertambangan minyak dan gas bumi merupakan salah satu andalan pendapatan bagi Indonesia, begitu pentingnya kedudukan sektor pertambangan migas, maka pengaturannya dilakukan secara terpisah dari pertambangan umumnya yaitu saat ini diatur dalam UU No. 22 tahun 2001.
Sesuai dengan kemampuan negara maka model pengusahaan pertambangan migas bervariasi. Hal inilah yang mendasari dilakukannya kerjasama dengan pihak lain yang dituangkan dalam bentuk perjanjian pengusahaan pertambangan migas. Salah satu bentuk pengusahaan pertambangan migas adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Tulisan ini juga mengulas tentang bagaimana aspek hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam pengusahaan pertambangan Minyak dan Gas di Indonesia.


B. Perumusan Masalah

Lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, merupakan tonggak penting dalam pengaturan pengusahaan pertambangan migas di Indonesia. Salah satu ketentuan menarik adalah tentang kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Tulisan ini ingin mengulas tentang permasalahan bgaimana aspek hukum kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) dalam pengusahaan pertambangan Minyak dan Gas di Indonesia.