Kamis, 27 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 4(BAGIAN 2)


REVIEW 10

Bagaimana Mengelola Koperasi Agar Berstandar Nasional 
Firdaus M. Yusuf




3. Luaran dan Analisis

3.1. Hasil Kuesioner dan Wawancara
Dari hasil pengolahan kuesioner dapat dilihat adanya perbedaan persepsi untuk
masing‐masing dimensi yang diukur antara pengurus dengan anggota Koperasi
ABC (kondisi saat ini). Tabel 1 di bawah ini menyajikan perbedaan persepsi
tersebut.

Tabel 1. Perbedaan persepsi dalam kelima dimensi pengelolaan SDM Koperasi ABC
(kondisi saat ini) antara pengurus dengan anggota



Tabel diatas terdiri dari aspek‐aspek MSDM koperasi seperti yang telah dijelaskan pada model konseptual sebelumnya. Untuk mempermudah visualisasi perbedaan persepsi dari lima dimensi diatas, gambar 1 berikut menampilkan polygon perbedaan persepsi pengelolaan Koperasi ABC saat ini antara pengurus dan anggota beserta penjelasannya.




Gambar 1. Polygon perbedaan persepsi antara pengurus dan anggota dalam
pengelolaan Koperasi ABC (kondisi saat ini)



Dimensi arah sasaran menunjukan adanya perbedaan persepsi antara pengurus dan anggota. Perbedaan persepsi ini dapat menghambat gerakan koperasi itu sendiri. Dari hasil verifikasi kuesioner dengan wawancara menunjukan bahwa masing‐masing pihak mempunyai tujuan yang berbeda atau pengurus gagal untuk mengkomunikasikan arah dan sasarannya kepada anggota koperasi. Dimensi kondisi organisasi, dari dimensi ini terlihat pada tabel diatas bahwa baik anggota maupun pengurus melihat susunan struktur yang dibuat sudah cukup baik, akan tetapi kinerja dan pemberdayaaan dinilai kurang. Sehingga masih banyak pembagian tugas  yang belum jelas dan upaya untuk memanfaatkan sumber daya internal –pun masih dinilai kurang.
 
Dimensi pengelolaan SDM, sifat keanggotaan yang terbuka, tidak adanya program karir, dan kurangnya manfaat dari penyuluhan menunjukan tumpulnya fungsi MSDM Koperasi ABC dalam hal perencanaan dan
pemeliharaan. Dan sepertinya tugas‐tugas koperasi sangat dipercayakan kepada manajer, sementara upaya bersama dari pengurus dan anggota sepertinya belum menunjukan kontribusi yang signifikan kepada koperasi.
Budaya koperasi yang seharusnya dibangun atas asas kebersamaan dan kekeluargaaan menjadi asas pemanfaatan. Hal ini terlihat dari jawaban anggota yang menilai kepentingan koperasi bukan sebagai tujuan utama atau tujuan bersama tetapi sebagai tujuan sekunder, dimana tujuan primernya adalah tujuan pribadi seperti mendapatkan pinjaman yang mudah dengan bunga serendahrendahnya. Sehingga keberlangsungan dan profitabilitas koperasi bagi anggota hanya menjadi tujuan sekunder. Tapi hal ini dapat menjadi alasan yang rasional jika koperasi tersebut memang tidak memperjuangkan kepentingan anggota sehingga bagi anggota koperasi ini lebih kearah koperasi pengurus. Terlihat dari jawaban dimensi budaya pada tabel diatas D5, sebagian besar anggota (57%) menilai koperasi tidak memperjuangkan kepentingan anggota. Dimensi integrasi, pada dasarnya baik pengurus maupun anggota memiliki motivasi dan harapan yang tinggi ketika masuk koperasi. Akan tetapi terlihat muncul gap mengenai aspek pemenuhan kebutuhan. Aspek ini menunjukan kemungkinan adanya diskriminasi antara pengurus dan anggota. Akan tetapi loyalitas anggotapun dipertanyakan oleh pengurus.


3.2. Hasil Studi Banding
Tabel 2 dibawah ini menyajikan perbandingan kondisi MSDM Koperasi XYZ
dengan Koperasi ABC berdasarkan lima dimensi penilaian dalam model
konseptual.


Tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar‐besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Koperasi dibangun dengan asas kekeluargaan dan sistem usaha mikro yang berfungsi sebagai ʺpintu masukʺ (entry point) ke dunia usaha, yang lebih luas (Raharjo, 2005). Koperasi XYZ sejak awal telah mempunyai tujuan bersama yang spesifik. Kejelasan dari tujuan ini penting untuk menjaga aktivitas koperasi agar tetap pada koridornya. Kesamaan dalam tujuan ini membuat koperasi XYZ mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada. Usaha mikro yang ada saling bergabung untuk lebih memantapkan barisan, langkah ini secara signifikan mampu menambah daya saing koperasi. Berbeda dengan koperasi ABC yang sejak awal tujuannya bersifat umum sehingga dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada koperasi mengalami berbagai masalah internal. Sehingga tujuannya saling bertabrakan antara satu sama lain, bukan saling menguatkan malah saling melemahkan. Struktur organisasi koperasi XYZ bersifat fungsional. Optimalisai dari pemberdayaan anggota pada koperasi XYZ memang belum diukur, akan tetapi fungsi‐fungsi strategis pada organisasi telah berjalan dengan baik. Dan anggota memiliki kesadaran berperan dalam koperasi karena memilki kesamaan langkah dengan koperasi. Berbeda dengan koperasi ABC yang sering terjadi konflik antara pengurus inti dan kepala seksi maupun dengan anggota. Koperasi XYZ menggunakan pendekatan yang cenderung top down kepada para anggotanya. Disini peran manajer menjadi penting sebagai ujung tombak untuk mengarahkan program koperasi. Kondisi anggota yang relatif homogen dalam lingkup usahanya semakin memudahkan langkah koperasi dalam mencapai tujuan. Selain itu koperasi XYZ terbukti telah mampu menjadikan usaha mikro menjadi pintu masuk menuju usaha yang lebih besar bahkan mendunia. Koperasi ABC juga menggunakan pendekatan top down akan tetapi penerimaan dari anggotanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat disebabkan karena koperasi dinilai belum mampu memberikan pintu masuk bagi para anggotanya sehingga posisi tawarnya dimata anggota masih lemah. Budaya kekeluargaan koperasi dikembangkan dengan membangun kesesuaian partisipasi yang terdiri dari 3 aspek yaitu sumber daya, pengambilan keputusan dan manfaat (Sunarto, 2004). Koperasi XYZ adalah koperasi yang sudah bersifat terbuka, pemanfaatan sumber daya terutama keuangan telah dilakukan secara optimal dan anggota tetap memiliki peran yang dominan dalam menentukan keputusan. Hal tersebut merupakan indikasi telah terbentuknya budaya koperasi yang lebih maju dengan tetap menjaga ciri‐ciri koperasi itu sendiri. Sejak awal aktivitas usaha anggota telah beririsan dengan bentuk kegiatan koperasi XYZ, hal seperti ini lebih memudahkan proses integrasi dalam koperasi. Dilain pihak pembagian SHU dilakukan setiap tahun sebagaimana halnya dividen. Bentuk koperasi yang terbuka menjadi tantangan tersendiri bagi koperasi untuk menjaga ciri khas koperasinya dalam pembagian dividen atau SHU.


4. Penutup
Dengan melihat masalah pengelolaan koperasi khususnya dalam konteks MSDM yang muncul di koperasi ABC, perlu dilakukan langkah‐langkah perbaikan. Pendekatan top down dan bottom up dapat dilakukan secara simultan untuk pencapaian tujuan bersama. Pendekatan top down akan menimbulkan kesan atasan dan bawahan sementara bottom up akan membiaskan tujuan karena banyaknya aspirasi dari para anggotanya. Komunikasi atau pendekatan yang dikembangkan dalam mencapai tujuan tidak bisa satu arah karena koperasi adalah milik bersama. Perbaikan komunikasi ini bisa dilakukan dengan meningkatan intensitas pertemuan antara anggota dan pengurus baik dalam kegiatan yang formal maupun informal. Pengoptimalan program edukasi dengan mengadakan program pelatihan mandiri yang tepat untuk meningkatkan kemampuan teknis dan non teknis anggota. Program pelatihan mandiri akan lebih memberikan manfaat karena dikembangkan berdasarkan masalah yang dihadapi langsung oleh koperasi yang bersangkutan. Memprioritaskan sasaran sasaran koperasi secara tepat. Seringkali ditemukan perbedaaan persepsi antara pengurus dan anggota, hal ini terjadi karena pengurus dan anggota memiliki skala prioritas masing‐masing. Dengan demikian sasaran koperasi harus ditentukan secara tepat sejak awal.


Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM  : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-20012




REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 4(BAGIAN 1)

REVIEW 9


Bagaimana Mengelola Koperasi Agar Berstandar Nasional 
Firdaus M. Yusuf



ABSTRAK
Koperasi ABC memiliki visi untuk menjadi koperasi yang profesional dan sejajar dengan perusahaan lain dengan tetap menjaga ciri khas koperasi, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan anggotanya. Untuk mewujudkan visinya tersebut, koperasi ABC harus membenahi manajemen usahanya, salah satunya adalah memperbaiki dan meningkatkan kinerja sumber daya manusianya. Sebagai langkah awal koperasi harus mampu mengidentifikasi permasalahan pengelolaan SDM. Riset ini bertujuan untuk melakukan identifikasi permasalahan SDM tersebut. Metoda identifikasi dilakukan dengan melakukan pemetaan terhadap kondisi pengelolaan SDM saat ini dan membandingkannya Koperasi XYZ, yaitu koperasi yang menjadi acuan
dalam pengelolaan perkoperasian di Indonesia. Pemetaan permasalahan dilakukan dengan metoda kuesioner dan wawancara. Pola identifikasi masalah manajemen SDM dilakukan dengan cara membagi aspek‐aspek MSDM kedalam 5 dimensi, yaitu dimensi arah sasaran, kondisi organisasi, kondisi pengelolaan SDM, budaya dan integrasi. Kelima dimensi inilah yang digunakan sebagai alat dalam identifikasi masalah MSDM
pada koperasi ABC ini. Hasil identifikasi MSDM menunjukan adanya kesenjangan baik dalam manajemen SDM untuk kelima dimensi yang diukur. Urutan prioritas perbaikannya adalah secara berturut‐turut yaitu dimensi budaya, kondisi organisai, arah dan sasaran, kondisi pengelolaan SDM dan integrasi. Koperasi memiliki berbagai keterbatasan, namun upaya yang berkesinambungan untuk mewujudkan visi misinya tetap harus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pengoptimalan program pelatihan, perbaikan komunikasi internal dan membangun budaya sportivitas dalam bermitra

Kata kunci: Koperasi, manajemen SDM, analisis kesenjangan

1. Pendahuluan

Koperasi menjadi suatu gerakan ekonomi nasional, dan mengakibatkan berkembang pesatnya koperasi di tanah air. Terdapat dua momentum penting dari perkembangan Koperasi Indonesia. Pertama pada awal 1970‐an, dimana pemerintah menciptakan program nasional Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang kemudian disebut Koperasi Unit Desa (KUD). Jumlah KUD berkembang pesat di tanah air, dan menjadi “milestone” perkembangan gerakan koperasi Indonesia. Momentum kedua adalah dikeluarkannya Inpres 18 tahun 1998 yang intinya menderegulasi pendirian/pembentukan Koperasi baru (herbert,2003). Kebijakan ini telah mengakibatkan tumbuhnya koperasi dua kali lipat dalam kurun waktu hanya 3 tahun. Jika pada akhir 1997 jumlah koperasi mencapai 49 ribu unit, pada akhir 2001 jumlahnya mencapai angka 103 ribu unit (Dekopin, 2001). Namun demikian secara kumulatif kinerja koperasi, yaitu profitabilitas dan efisiensi usaha, cenderung mengalami penurunan pada perioda yang sama (Bappenas, 2002; & Kantor Mennegkop, 2002). Sampai saat ini koperasi belum mampu menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Teridentifikasi terdapat 7 masalah kualitatif yang dialami Koperasi Indonesia, yaitu “Citra”, “Kemandirian”, “Kualitas SDM”, “Manajemen/Governance”, “Ketersediaan dan Akses Permodalan”,dan “Jaringan Usaha”(Suryadharma Ali, 2004). Koperasi memiliki citra sebagai organisasi yang ketinggalan zaman karena kualitas SDM yang kurang dan kemampuan manajerial yang tidak kompeten sehingga kebanyakan orang memandang sebelah mata terhadap koperasi, padahal koperasi didirikan sebagai soko‐guru ekonomi nasional.
Koperasi adalah perkumpulan orang dan modal yang memiliki tujuan bisnis dan sosial, berbeda dengan badan usaha lainnya oleh karena itu manajemen sumber daya manusia (MSDM) memegang peranan yang penting dalam koperasi. MSDM membantu untuk mewujudkan tujuan yang optimal dari sebuah organisasi dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi sumber daya manusia. Pengelolaan dan pembinaaan SDM yang tepat diperlukan jika koperasi ingin bertahan dalam bisnis dan menambah daya kompetitifnya. Demikian pula halnya dengan Koperasi ABC sebagai obyek dalam riset ini. Berbagai alternatif untuk perbaikan kinerja koperasi seringkali menjadi bahan diskusi para ekonom. Tapi sejauh ini jarang sekali dilakukan pemetaan kondisi MSDM sebuah koperasi. Padahal dalam aspek SDM inilah koperasi paling banyak disorot sebagai salah satu sumber permasalahan lemahnya keberadaan koperasi. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi masalah MSDM koperasi sebagai langkah awal perbaikan.

2. Model Konseptual
Fungsi MSDM dalam sebuah koperasi dimulai dari kegiatan perencanaan sampai dengan pemisahan (separation). Dibawah ini adalah 11 fungsi MSDM koperasi secara umum yaitu:
   1. Perencanaan (human resources planning) adalah merencanakan
       kepengurusan koperasi secara efektif dan efisien agar sesuai dengan
       kebutuhan dan tujuan koperasi. Dari perencanaan inilah terlihat seperti
       apa skenario atau desain awal pendirian Koperasi ini dapat dipahami
       oleh anggota dan pengurus.
  2. Pengorganisasian (organizing) adalah kegiatan untuk mengorganisasi
      semua pengurus dan anggota dengan menetapkan pembagian kerja,
      hubungan kerja, delegasi, wewenang, integrasi dan koordinasi dalam
      bagan organisasi.
 3. Pengarahan (directing) adalah kegiatan mengarahkan anggota agar terlibat
     dalam kegiatan koperasi dan bekerjasama, dengan demikian muncul rasa
     memiliki dan tanggung jawab bersama.
 4. Pengendalian (controlling) adalah kegiatan mengendalikan anggota agar
     mentaati kesepakan bersama yang telah ditetapkan dalam rapat anggota.
     Sehingga aktifitas yang dikerjakan sesuai dengan syarat dan prosedur.
 5. Pengadaaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan,
     orientasi dan induksi untuk mendapatkan pengelola/pengurus yang
     sesuai. Dalam hal ini biasanya proses pengangkatan manajer sebagai
     ujung tombak koperasi.
 6. Pengembangan (development) adalah proses peningkatan keterampilan
     teknis, teoritis, konseptual dan moral melalui pendidikan dan pelatihan.
     Pendidikan dan pelatihan ini merupakan stressing dari koperasi.
 7. Kompensasi (compensation) adalah pemberian balas jasa langsung dan
     tidak langsung. Pemberian kompensasi dalam koperasi diwujudkan
     melalui kemudahan dan peningkatan volume peminjaman dan juga
     pembagian sisa hasil usaha (SHU).
 8. Pengintegrasian (integration) adalah kegiatan untuk mempersatukan
     kepentingan koperasi dan anggota, agar tercipta kerjasama yang serasi
    dan saling menguntungkan. Untuk melihat efektifitas dari integrasi ini
    kita harus melihat sejauh mana koperasi dapat memenuhi kebutuhan
   anggotanya baik materi maupun non materi. Pengintegrasian merupakan
   hal yang sulit dalam MSDM karena mempersatukan dua kepentingan
   yang seringkali berbeda.
 9. Pemeliharaan (maintenance) adalah kegiatan untuk memelihara atau
     meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas anggota. Pemeliharaan
     yang baik dilakukan dengan program kesejahtraaan yang didasarkan
     pada kebutuhan sebagian besar anggotanya.
 10. Kedisiplinan (discipline) merupakan fungsi MSDM yang terpenting dan
      kunci terwujudnya tujuan. Kedisiplinan ini mengukur sejauh mana
      pegurus dan anggota mentaati atur4an main koperasi.
 11. Pemberhentian (separation) adalah putusnya keanggotaaan koperasi.
       Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan sendiri atau diberhentikan
       oleh forum karena alasan‐alasan tertentu.


Sebelas fungsi diatas terdiri dari berbagai aspek, kriteria dan program yang
dapat diukur efektivitasnya. Dari aspek‐aspek tersebut, mulai dari aspek
pemahaman anggota dan pengurus terhadap tujuan organisasi sampai dengan
aspek pemberlakuan sangsi (separation) semuanya dikumpulkan dan dirangkum
kemudian disederhanakan menjadi lima dimensi MSDM (Tjakraatmadja dkk,
2001, diolah). Kelima dimensi itu adalah:

   1. Dimensi Arah dan sasaran, dimensi ini mengukur sejauh mana SDM
       koperasi memahami arah dan sasaran dari koperasi. Dengan demikian
       kita bisa melihat apakah mereka memiliki tujuan bersama atau tujuan
       sepihak. Idealnya dalam sebuah koperasi pengurus dan anggota memiliki
       arah dan sasaran bersama.
  2. Dimensi Kondisi Organisasi, pemilihan jenis organisasi apakah telah
      sesuai dengan jenis usahanya, koperasi single purpose akan berbeda
      dengan organisasi multipurpose. Kondisi organisasi disini lebih
      menekankan pada pembagian tugas dan pemberdayaan SDM.
  3. Dimensi Kondisi sistem pengelolaan SDM, pengelolaan SDM
      menyinggung bagaimana sifat koperasi , konsistensi dalam menjalankan
      sistem dan peran dari manajer sebagai ujung tombak.
  4. Dimensi Budaya, melihat apakah beriklim kekeluargaan atau
      individualis, keputusan didasarkan atas kepentingan sepihak atau
      bersama dan juga melihat iklim sportivitas didalam koperasi.
  5. Dimensi Integrasi, melihat apakah ada irisan antara kebutuhan koperasi
      sebagai organisasi dan kebutuhan pengurus dan anggota sebagai
      individu. Disini kita melihat keseimbangan antara hak dan kewajiban.
      Dimensi integrasi ini dapat dilihat berdasarkan kesesuaian partisipasi
      yang terdiri dari 3 aspek yaitu:
         • anggota ”berpartisipasi dalam memberikan kontribusi atau
            menggerakkan sumber‐sumber dayanya
         • anggota ”berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (perencanaan,
           pelaksanaan dan evaluasi)
         • anggota berpartisipasi/berbagi keuntungan


Kelima dimensi diatas yang akan digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi masalah MSDM pada Koperasi ABC ini. Identifikasi masalah MSDM sebuah koperasi berbeda dengan perusahaan pada umumnya. Dalam hal ini koperasi mempunyai tugas ekstra yaitu selain mencari profit juga berusaha meningkatkan kualitas anggotanya baik secara materil maupun non‐materil seperti keterampilan dan wawasan dengan demikian ciri khas koperasi tetap harus dijaga. Didalam koperasi, anggota memiliki suara yang sama sehingga peran anggota dalam mengambil keputusan dan kebijakan koperasi menjadi sangat dominan. Koperasi adalah milik bersama bukan milik para pemegang saham. Berbeda halnya dengan perusahaan yang keputusannya ditentukan oleh jumlah lembar saham atau saham mayoritas, dan manajer memberikan tugas kepada para staf dan bawahannya. Dalam koperasi anggota memiliki posisi yang sama dengan pengurus, hanya berbeda dalam wewenang dan tugasnya. Dengan demikian yang menjadi objek dalam MSDM koperasi tidak hanya pengurus saja tapi juga anggotanya. Oleh karena itu desain identifikasi ini disesuaikan dengan ciri khas MSDM koperasi di Indonesia.


Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM  : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-20012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3(BAGIAN 3)


REVIEW 8

Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi

oleh : Grendi Hendrastomo


Meningkatkan kesejahteraan Buruh

permasalahan pelik peningkatan kesejahteraan buruh kiranya tidak akan dapat di pecahkan oleh buruh sendiri atau Negara bahkan pengusaha/korporasi. Masing-masing pihak tertentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Buruh tentu saja ingin meningkatkan taraf kehidupannya, Negara ingin berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan  dan membuka banyak lapangan kerja, dan korporasi selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketiga pihak inilah kemudian di tuntut untuk saling bediskusi satu sama lain untuk memberikan pemecahan dalam kaitannya dengan kesejahteran buruh.
beberapa pendekatan, mencoba untuk melihat perspektif solusi kesejahteraan. Dari tiga pihak ini masing-masing di upayakan untuk mengusahakan kesejahteraan buruh. Solusi pertama datag dari pihak buruh yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan. Dalam perpektif Mark, selama ini buruh terjebak dalam kesadaran palsu(false consciousness) dimana buruh merasa di perlakukan baik oleh pemilik modal. Buruh harus merubah false conciouness itu dengan kesadaran kelas, yaitu kesadaran bersama bahwa selama ini pemilik modal selalu memarginalkan mereka. Dalam tataran modern kemudian buruh bisa melakukan  gerakan perlawanan dengan berserikat. Serikat buruh merupakan salah satu jalan untuk bernegosiasi dengan pemilik modal.
gerakan serikat buruh slama ini terbatas pada negosiasi lunak dengan Negara maupun pengusaha. Serikat buruh tidak memiliki posisi tawar yang memadai sehingga ke gagalan lah yang sering menghampiri mereka. Gerakkan uyang mereka lakukan masih setengah-setengah diikuti oleh buruh. Ada kekhawatiran ketika mereka melakukan perlawanan, bukan mendapatkan peningkatan kesejahteraan malah pemutusan kerja yang akan di dapat. Paradigma inilah yang harus di rubah. Salah satu cara yang bisa di kembangkan adalah membentuk koperasi yang nantinya akan menjamin mereka apabila terjad pemutusan hubngan kerja. Selain sebagai jaminan social, koperasi juga mampu memghimpun dana buruh untuk melakukan aksi. Dengan terjaminnya tidak bisa berlaku sewenang-wenangnya karena kemunculan serikat byryh yang solid.
solusi kedua datang dari pemilik modal. Perubahan cara pandang terhadap buruh muthlak harus di ubah. Buruh buakn lagi komoditas, factor produksi, tetapi buruh merupakan stakeholder juga bagi perusahaa, sehingga untuk mengurangi beban produksi tidak lagi mengurangi kesejahteraan buruh atau pemutusan hubungan kerja, tetapi dengan efisiensi. Cara lain adalah corporate social responbility (CSR) suatu bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat. Konsep CSR berawal dari dorongan kuat untuk menahan laju “ketamakan” perusahaan dalam mengambil keuntungan. CSR merupakan konsep yang menawarkan keseimbangan kepentingan antara shareholder dan stake holder (Syafrani, 2008). Selama ini CSR justru tidak menyentuh kaum buruh, CSR lebih banyak di lakukan di masyarakat luar. Alangkah baiknya apabila CSR justru di lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
aplikasi CSR untuk kepentingan buruh bisa di apliasikan dalam pembangunan rumah bagi buruh buruh, sekolah gratis, hingga fasilitas kesehatan. Pembangunan rumah yang di dekat dengan lingkungan perusahaan mutlak di perlakukan. Merujuk pada kompas, hampir 40% dari upah buruh habis untuk biaya transportasi, dan perumahan. Pelimpahan CSR untuk kesejahteraan buruh, perlu dukungan pemerintah dan pimpinan perusahaan. Korporasi bisa menggunakan indeks pelaksanaan CSR dimana perusahaan membangun perumahan, pendidikan dan kesejahteraan buruh sebagai nlai tertinggi keberhasilan CSR.
solusi yang ketiga datang dari Negara. Negara akan memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh. Kebijakan mengenai upah minimu regional (UMR) perlu di sempurnakan. UMR harusnya berkaca pada tingkat kebutuhan rill tenaga kerja dan di sesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Negara merupakan pihak ketiga yang menghubungkan dan memediasi kepantinagn buruh dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang di keluarkan seharusnya memenuhi sisi keadilan, sehingga Negara tidak lagi menjadi corong dan boneka pengusaha tetapi mampu juga menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin hak-hak masyarakat.
keyiga solusi tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi memerlukan sinergi bersama semua pihak. Peningkatan kesejahteraan buruh mutlak di agendakan demi untuk mencptakan rasa keadilan dan menarik buruh dari kemarginalan. Hubungan buruh pengusaha tidak lagi hubungan majikan dengan budaknya, tetapi lebi sebagai partner, yang intinya pengusaha mempunyai konsen untuk memperoleh keuntungan, tapi disisi lain buruh juga mau menopang perusahaan untuk memperoleh keuntungan. Namun, apa yang menjadi keperluannya secara manusiawi juga dicukpi oleh perusahaan. Paradigm yang di pakai tidak lagi buruh sebagai alat produksi tetapi benar-benar sebagai partner.


Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3(BAGIAN 2)



REVIEW 7
Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi

oleh : Grendi Hendrastomo






Hubungan Buruh – Pengsaha-Negara (Tripartit)

1.  Marginalisasi Buruh


Pengusaha/pemilk modal selalu melihat buruh sebagai budak yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha. Sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim disunat sana sini bahkan ditunda pembayarannya gara – gara alas an ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan diganti. Dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan dimata pemilik modal.

Penggolongan buruh sebagai faktor produksi merupakan proses meminggirkan buruh dan menjadi alas an perusahaan ketika dituntut untuk melakukan efisiensi dan berbagai pengurangan beban produksi, maka buruh akan menjadi salah satu faktor produksi yang fleksibel yang bisa disesuaikan dengan pasar. Artinya, ketika terjadi krisis maka buruh bisa dengan seenaknya diganti, diberhentikan, sesuai dengan kebutuhan pengusaha.Buruh telah ditempatkan sebagai komoditas, buruh adalah sumber tenaga kerja, karena itu bisa diperdagangkan sewaktu – waktu.

Dalam pandangan Marx, buruh itu tersaing (teralienasi) dalam 4 hal.Pertama, buruh teralienasi dari aktvitas kerjanya.Idealnya orang bekerja bukan hanya untuk memenuhi keinginannya, melainkan juga untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.Kenytaannya, buruh tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan potensinya.Buruh hanya menunaikan tugas, kewajiban dan perintah pemilik modal.Kedua, buruh teralienasi dari produk yang dihasilkan.Buruh tidak memiliki sumbangsih terhadap produk yang dihasilkan, kesemuanya meupakan perintah dan keinginan dari pemilik modal.Untuk mendapatkan produk yang mereka buat, tidak ada eksklusifitas bagi para buruh, mereka tetap harus membeli prduk yang mereka buat dengan harga pasar. Ketiga, buruh teralienasi dari buruh lain. Buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antara sesame buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kolektif sesame buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penh dari sesame buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.Keempat, buruh teralienasi dari potensi yang dimiliki.Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghaslkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal utnuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.

Keterpinggiran buruh pun tidak hanya dapat dilihat dari 4 hal diatas tetapi masih ada beberapa bentuk marginalisai buruh, diantaranya :

  • ·         System kontak dan outsourcing
Pergeseran kepentingan dan perubahan peraturan telah memarginalitaskan buruh dari semua segi.Sejak UU Ketenagakerjaan no 13/2003 efektif berlaku, secara massif terjadi gerakan pergantian status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, melalui sistemn outsourcing tenaga kerja. Tren ini terutama terjadi pada industry besar padat karya yang memproduksi garment, spatu, elektoronik dan makanan. UU tersebut menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti status pekerja tanpa mengikuti posedur yang ada.Beberapa khasus memunculkan pemutusan hubungan kerja tanpa diberi hak – hak yang seharusnya mereka terima.

System kontrak juga memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja.Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka.Hal in terpaksa mereka lakukan demi untuk mempertahankan pekerjaan mereka.

  • ·         Bargaining position yang lemah
Dengan diberlakukannya UUK 13/2003 tentang system kontrak menabiskan psisi buruh yang sangat lemah. Kondisi ini membuat posisi buruh dihadapan perusahaan menjadi sangat lemah, mereka bisa dengan mudah digantioleh orang lain. Posisi tawar yang lemah juga memaksa mereka menerima gaji yang diberikan oleh perusahaan walaupun dibawah standar hidup layak. Serikat – serikat buruh tidak berjalan karena pekerja diliputi ketakutan, antara berjuang untuk peningkatan kesejahteraan dengan resiko PHK atau menerima apa adanya untuk mempertahankan pekerjaab mereka. Peran Negara yang seharusnya melindungi buruh justru tidak bisa melakukan apa – apa. Kebijakan yang mereka keluarkan selalu berpijak pada perusahaan (corporate centris).

  • ·         Upah minimum – jam kerja maximum
Kebijakan system kontrak dan posisi tawar yang lemah berakibat pada pah minimalis yang mereka terima tanpa tunjangan sama sekali. Walaupun upah yang mereka terima sangat minimum, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis sama dengan karyawan tetap. Perusahaan akan memaksimalkan dan memeras keringat buruh untuk bekerja semaksimum mungkin. Dalam pandangan Marx, perusahaan akan menerima value added dari kebijakan ini. Umunya pekerja di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untk delapan jam mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Artinya, perusahaan mendapatkan nilai tambah dengan system ini. Disatu sisi perusahaan untung, disisi lain buruh dirugikan dengan upah minimum dan jam kerja panjang.

  • ·         Upah dan kebutuhan riil yang tidak sebanding
Problem buruh selama ini selalu berpokok pada masalah fundamental, yaitu upah.Selama ini upah buruh tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.Regulasi pemerintah tentang penetapan upah minimum pun hanya mencakup 80% dari kebtuhan riil.Lagi – lagi dengan alsan klise “ekonomi”, pemerintah dan perusahaan memaksa buruh untuk menerima kebijakan upah minimum tersebut. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istri.
Permasalahan – permasalahan yang muncul diseputar buruh menunjukkan keterpinggiran mereka. Tidak ada jalan lain yang mereka lakukan selama ini. Kondisi perekonomian yang buruk, dnegan jumlah pengangguran yang besa, lapangan pekerjaan yang kecil dan ketidakmampuan mereka mengenyam pendidikan tinggi membuat buruh menerima apa adanya. Keinginan untuk menerima upah yang layak kadang terpikirkan ketika didepan mereka terbentak pemutusan hubungan kerja yang sewaktu – waktu terjadi.Negara yang diharapkan mampu melindungi dan menyuarakan hak – hak mereka asyik berlindung dibalk angka – angka.Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan masalah pengangguran yang menerpa, pemeintah menjadi gelap mata.Demi menarik hati investor agar mau menanamkan modalnya, pemerintah telah menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan menciptakan lapangan pekerjaan yang besar dengan mengesampingkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja.


2. Labour Market Flexibility

           Filosofi dasarnya adalahmenyerahkan hubungan buruh majikan pada mekanisme pasar, dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah.Hal in muncul dengan didasari perpektf pengusaha dalam menghadapi permasalahan tenaga kerja yang tidak kunjung selesai.Upah yang semakin mahal dengan produktivitas rendah.Padahal menurut pengusha merekalah yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi.Berlarut – larutnya situasi ketenaga kerjaan yang merugikan ini membuat pemilik modal sudah bersiap – siap mereposisi strategi industrinya dengan meninggalkan pilihan padat karya (labor intensive) menjadi padat modal (capital intensive) (Binawan & Prasentyantoko, 2004). Dengan kata lain mereka lebih memilih menjadi “pemasar dengan mengimpor produk dari tempat lain, ketimbang harus memproduksi sendiri dengan beban tenaga keja yang menurut mereka terus membebani.

              Melihat kondisi ini mau tidak mau pemerintah kemudian harus turun tangan, karena pemerintah tidak ingin perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja merelokasi industrinya ke negeara lain yang akan menimbulkan efek domino mulai pengangguran, kemiskinan hingga meningkatnya angka kriminalitas dan menurunnya kesehatan masyarakat.

                 Kebijkan pemerintah tentang penerapan fleksibiltas pasar tenaga kerja (LMF) merupakan respon yang semakin memantapkan asumsi bahwa akibat krisis, negeri kita semakin fanatic pada system pasar bebas.LMF dianggap sebagai salah satu solusi ntuk meningkatkan daya tahan korporasi dalam menghadapi krisis.Mekanisme upah dan kesejahteraan buruh pun kemudian oleh Negara diserahkan pada korporasi sehingga merekalah yang menentukan seberapa besar kesejahteraan buruh. Bila sector korporasi bisa bertahan hidup, permintaan terhadap pasar tenaga kerja akan stabil atau ditingkatkan, sehingga harus diupayakan sector korporasi semakin kuat menghadapi gelombang krisis. Dengan kata lain, LMF mendorong daya saing korporasi melalui penyingkiran berbagai hambatan bagi operasi modal, salah satunya adalah reduksi atau pencabutan berbagai peratran yang melindungi buruh. Peraturan perburuhan yang sangat liberal dan memudahkan prosdur rekrut dan pecat justru dikembangkan.Peraturan peburuhan yang semakin liberal, dengan sendirinya justru telah menarik Negara dari perannya sebagai pelindung buruh.

                    Secara umum, kemudian LMF dipahami sebagai kemampuan pasar tenaga kerja menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi ekonomi. Dnegan kata lain, LMF sebenarnya adalah sebuah mekanisme pengalihan resiko dai korporasi kepada karyawan. System gugur tidak diberlakukakn terhadap korporasi, tetapi justru ditimpakan kepada pasar tenaga kerja (Binawan & Prasentyantpkp, 2004). Asumsi inilah yang merupakan salah satu analisis dikeluarkannya SKB 4 menteri baru – baru ini, yang salah satu pasalnya mengatur tentang upah dan kesejahteraan pekerja yang diserahkan/disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dna kenaikan upah buruh mengikuti petumbuhan ekonomi. Kesejahteraan buruh semakin dipinggirkan karena ketika krisis global terjadi maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sehingga kesejahteraan buruh pun akan ikut turun. Pemilik modal memiliki alas an untuk tidak menaikan upah, sengakan buruh semakin terpuruk karena kebutuha riil justru semakin naik.

                   Ditinjau dari kesejahteraan buruh, LMF akan menghasilkan degradasi kesejahteraan dan kondisi kerja buruh (pengurangan upah dan kesempatan lembur, ketidakpastian kerja dan penghasilan). Kondisi kerja maka teus memburuk yang diikuti dengan menurunnya upah riil yang diterima buruh. Dengan LMF  memungkinkan korporasi menarik karyawan kontrak dimana buruh ini hanya menerima gaji poko saja, tidak ada tunjangan fasilitas dari perusahaan dan masih diperparag dengan keharusan mereka menyisihkan upah mereka untuk meberi komisi bagi penyalur.
                Bagi pemilik modal, fleksibilitas pasar tenaga kerja di yakini sabgai salah satu kebijakan public yang akan mendorong minat investor kembali menanamkan modal Indonesia. Sementara bagi buruh, ini adalah legitimasi dari praktek kekejaman hokum pasar yang selama ini sudah di praktekkan oleh banyak pemilik modal.


Kesejahteraan buruh
                buruh merupakan salah satu unsur pendukung dari unit produksi yang memegnag peran penting dalam menghasilkan suatu produk. Berbicara tentang produksi tidak akan lepas dari konteks upah dan kebutuhan fisik minimum buruh. Dalam suatu proses produksi, buruh hanya akan menghasilkan produktivitas yang tinggi apabila keadaan fisiknya cukup memadai. Hal itu akan bias tercapai apabila upah yang diterimanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum. Dengan kata lain, membicaraa buruh dalam kaitannya dengan produktivitas mereka tidak dapat mengabaikan peranan upah dan kebutuhan fisik minimum. Kesejahteraan buruh kemudian menjadi poin penting ketika kita membicarakan tentang buruh. Merujuk pada UU ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 kesejahteraan buruh meliputi upah, kesejahteraan dan jaminan social tenaga kerja.
                upah adalah hak pekerja yang di terima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, di tetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya. Upah seharusnya mencakup semuanya tetapi kenyataannya upah hanya merupakan gaj pokok tanpa memperhitungkan tunangan, itupun masih jauh dari kebutuhan rill pekerja.
                kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan atau keperluan yang bersifat jamaniah dan rohaniah, baik selama maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja. Kenyamanan dan ketentraman dengan berbagai fasilitas yang diseiakan oleh pemilik modal merupakan salah satu bentuk kesejahteraan yang di terima pekerja. Kondisi ii di lapangan sangat jarang ditemui, ruangan untuk buruh sangat jauh dari kesan nyaman, sudah untung apabila di beri ruangan serba guna seperti pekerja.

                Jaminan social tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang aau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau keadaan yang di alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil berslin, hari tua dan meninggal dunia. Ironisnya jaminan social tenaga kerja ini sangat jarang dipenuh oleh pemilik modal dengan alasan akan menambah biaya prodiksi, kalaupun ada maka yang di dapatkan  tidak sebanding dengan apa yang buruh rasakan. Minimnya upah juga turut mempengaruhi mininya jaminan social tenaga kerja.
                Di Indonesia, kesejahteraan buruh secara kasat mata di lihat dari upah minimum yang di berikan, baik itu upah minimum rregional , upah mnimum provinsi atau upah minimum kabupaten. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal memberikan balas jasa kepada buruh. Upah minimum  ini di katakana mencerminkan “hubungan” antara buruh, pemilik modal dan Negara. Tetapi, dalam penetapan upah minimum ini peran negaralah yang justru lebih menonjl. Menurut Squire (1982) penetapan upah minimum merupakan cirri menonjol intervensi Negara pada pasr tenaga kerja di banyak Negara sedang berkembang. Tujuan upah minimum adalah menghilangkan bagian dari kemiskinan yang di sebabkan adanya tingkat upah yang tidak memungkinkan pekerja memperoleh penghasilan untuk mencapai standar minum kehidupan. Ketidakmungkinan ini di sebabkan oleh surplus tenaga kerja, sumber daya manusia yang rendah dan kondisi fisik buruh. Upah minimum di rancang untuk menghilangkan kompetisi yang tidak fair(Blum, 1978). Tetapi hal ini di bantah oleh Stigler (Rochadi, 1994) bahwa justru peraturan mengenai upah minimum mengintervensi mekanisme pasar tenaga kerja dan mengabaikan srikat buruh.
                kebijakan upah minimum secara structural justrumengntungkan pengusaha di karenakan: pertama, upah minimum nominalnya d bawah upah rill.
                Buruh di tuntut untuk bekerja keras dengan jam kerja panjang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Buruh masih hidup subsisten hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidunya sehari-hari pun masih mepet. Kondisi ini kemudian di sikapi banyak nburuh terutama yang sudah berkeluarga dengan menitipkan anaknya ke orang tua mereka. Kedua, tidak terdapat alat control yang memadai untuk optimalisasi upah minimum, sehigga pemilik modal berada pada posisi yang mengkuntungkan dan bebas menentukan upah yang mereka byarkan. Ketiga, mekanisme penentuan upah minum masih banyak yang mendominasi oleh aparat Negara. Bahkan yang mewakili merek dalam serikat buruh pun bukan bagian dari buruh, hanya merupakan wakil mereka yang tidak bias di harapkan untuk mengakomodir aspirasi buruh.
                Kenyataannya, upah minimum sangat-sangat minim sehingga tidak mampu mencakupi kebutuhan rillnya, ketika upah jauh dari cukup? Rentemir menjadi cara yang paling mudah, buruh biasa meminjam “gali lobang tutup lobang”, yangakhirnya justru menjebak mereka dalam perangkap utang, selain itu akibat ketidakmampuan mereka membeli barang-barang yang mereka idamkan akhirnya mereka terjebak pada konsumerisme dengan kredit. Sistem ini di satu sisi akan sangat membantu mereka memperolah barang-barang yang mereka idamkan, tetapi disisi lain justru semakin memperparah kondisi ekonomi mereka.
                cara lain, buruh kebanyakan meluangkan waktu mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan, baik dari pertanian maupun sector-sektor informal, tetapi hal ini akan menambah jam kerja mereka, mereka harus kerja keras yang akhirnya ustru menyebabkan kesehatan menjadi sangat rentan. Ketika semua hal tidak mampu menutup kebutuhan mereka, masuklah para buruh itu dalam perangkap judi sehingga melakukan tindak criminal.
                Masalah-masalah social inilah yang merupakan ekses langsung dari ketiadaan kesejahteraan buruh yang memadai. Lingkungan social yang buruk, jaminan social yang minim hingga prasarana kesehatan yang tidak memadai selalu lekat pada diri buruh, Hanya “utopia” untuk memperbaiki hiduplah yang selama ini menyemangati mereka dan justru menyokong perekonomian Negara.

Nama          : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EBO9/ 27211179
Tahun          : 2011-2012



REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3(BAGIAN 1)




REVIEW 6
Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi

oleh : Grendi Hendrastomo


Abstrak

                Artikel ini bertujuan untuk menganalisasi ketimpangan anatara kesejahteraan dengan peluh kerja buruh, melihat hubungan antar negara, pengusaha dan buruh, serta mengajukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Kesejahteraan buruh muthklak di perjuangka  untuk lebih memanusiakan buruh. Kebijakan yg diambil negara selayaknya tidak mengorbankan kaum buruh.

                isu tentang pemburuhan sampai saat ini merupakan salah satu isu sexi yg sering kali di jaaadikan alat tawar politik maupun obyek pencitraan. Buruh menjadi komoditas jualan parpol yg disatu sisi penopang dan menjadi tulang punggung perekonomian nasioanal tetapi di satu sisi pandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yg tak kunjung membaik. Desakkan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan burh selalu berujung pada kegagalan.
                Outsourcing, Pemutusan hubungan kerja (PHK), upah minimum regional (UMR), upah yg tak kunjung di bayar hingga kemiskinan menghinggapi kaum buruh menjadi permasalahan akut yg tak kunjung ada jalan keluarnya. Satu kesamaan diantara semua masalah, buruhlah yg harus menanggung semuanya. 
Peningkatan kesejahteraan menjadi dorongan buruh untuk terus berjuang.


Kata kunci: Kesejahteraan, Buruh, Kemiskinan, Marginalisasi

Pendahuluan

                pemberitaan mengenai buruh tidak pernah berhenti menghiasi media kita. Belum selesai masalah pertama, muncul masalah kedua, ketiga dan seterusnya yang tak kunjung menemukan titk temu. Permaslahan yang melingkupi buruh tersebut mulai dari kesejahteraan dengan tolak ukur utama jumlah upah buruh, sistem kontrak dan outsourcing, PHK dan masih banyak masalah lain yang kemudian memunculkan marginalisasi buruh. Kondisi ini juga semakin di perparah dengan ketidakberpihakan pemerintah kepada buruh. Pemerintah yang diharapkan menjadi dewa penyelamat, justru terlalu banyak menyampaikan retorika tanpa ada solusi, “minder” pada pengusaha (pemilik modal) dan buruh di jadikan komoditas politik.
                ironisnya, di satu sisi buruh selalu di marginalkan, tetapi di sisisi lain buruhlah yg memiliki kontribusi untuk menopang perekonomian negara ini. Padahal, buruh itu besar sekali perannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangunan peradaban. Karena jumlahnya yg besar, maka buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat  indonesia secarakeseluruhan. Buruh lah yang menggerakkan sektor ekonimi bawah yang notabene memiliki kontribusi yang luar biasa dalam perekonomian negara sehingga menampakkan hasil yang “membanggakan”.
                kontribusi buruh yang demikian besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dari tahun ke tahun selalu muncul permasalahan buruh terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian di perparah dengan peraturan yang di keluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh. SKB 4 Menteri tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global, yang baru-baru ini di keluarkna akibat resesi global menambah runyam masalh tentang buruh.
                tidak bisa di pungkiri memang, di antara banyak permasalahn seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah yang sensitif yang selalu di bicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan kalsik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka. Hal ini dikarnakan upah yang mereka terima tidak sebanding/mencukupi untuk kebutuhan rill. Kalau di ibaratkan kenaikkan harga kebutuhan pokok berlari sedangkan upah buruh justru jalan di tempat tidak ada peningkatan atau malah justru mundur. Dari data BPS sebagai gambaran tahun 2006 untuk hidup layak sederhana di Jakarta, seseorang harus mengeluarkan uang antara 1,5-2 jt per bulan yang di gunakan intuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan tempat tinggal dan transportasi. Dibandingkan kemudian dengan UMR jakarta yang hanya sebesar IDR 950.000. mungkinkah kemudian orang dapat hidup layak dengan upah sebesar itu? Bagaimana mereka menutup kekurangannya hampir 100%?
                secara umum, para buruh terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung pada kemiskinan akut sebagai konsekuensi dari rendahnya uoah yang diterima. Hal ini terliahat dari terms of trade(niali tukar) buruh yang terus menerus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Terms of trade yang menurun di tunjukkan dengan perbandingan upah dan harga yang semakin mengecil(sunu, 2002(. Merujuk pada laporan organisasi buruh dunia (ILO), pada tahun 2001 hampir satu milyar orang atau 1/3 dari populasi angkatan kerja adalah buruh/pekerja dengan upah rendah yang tidak dapat mendukung diri mereka dari keluarga mereka.
                kemudian posisi buruh yang serba sulit juga di sebabkan oleh hubunagn antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki pervbedaan kepentingan yang sangat mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapatkan upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang di harapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali ke esokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama.
                dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka  berada di tangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnaya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan (legalitas) untuk menekan  pengusaha yang dalam posisi ini di pegang oleh pemerintah. Kenyataanya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di stir pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Tulisan ini kemudian akan lebih menyoroti mengenai kesejahteraan buruh, masalah yang menyertainya hingga solusi yang mungkin bisa di pakai.

Apa yang dimaksud dengan “Buruh”?
                sebelum membahas lebih lanjut tentang kesejahteraan buruh, perlu di jabarkan apa sebenarnya yang di,maksud dengan buruh itu sendiri. UU No.22 tahun 1957(tentang penyelesaian perselisihan perburuhan) mendefinisikan buruh adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah. Menurut ILO,  buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan yang di bebankan padanya, dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa dikatakan sebagai buruh. Konsepsi ini juga sejalan dengan pemikiran Marx tentang borjuis dan proletar, pada hakekatnya di dunia ini hanya ada 2 kelas yaitu borjuis dan proletar, borjuis adalah pemilik alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena sebenranya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar.
                dari berbagai sumber definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerha di bawah pemerintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja di kaburkan di jamar orde Baru sebagai upaya pengkotak-koyakan dan pemecah belahan, sehingga definisi terpecah buruh, pekerja, pegawai, kaum profesioanal, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatn buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politiuk penguasa saat itu.
                                Di indonesia, pada tataran praksis ketika kita berbicara tentang buruh, maka yang dimaksud adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang selalu di identikkan dengan kemiskianan, kumuh, untuk makan harus “gali lobang tutp lobang”, termarginalkan. Buruh inilah yang kemudian di lihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat.

Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-20012

Rabu, 26 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 5(BAGIAN 2)


REVIEW 12

ANALISIS DAN PERANCANGAN 
SISTEM INFORMASI AKUNTANSI dI KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH BMT NUR ABABIL WONOGIRI

diajukan oleh: Setiawan Budi Santoso
09.22.1095


3. Analisis PIECES

1) Analisis Kinerja ( Perfomance )

Kinerja merupakan bagian pendukung dalam kelancaran proses kerja dalam suatu perusahaan. Kinerja yang dimaksud adalah kinerja sistem, kinerja dapat diukur dari throughput dan respone time.
Througput adalah jumlah dari pekerjaan yang dapat dilakukan suatu sistem tertentu. Respone time adalah rata-rata waktu yang tertunda diantara dua pekerjaan ditambah dengan waktu respone untuk menangani pekerjaan tersebut.
Pada sistem lama :
a. Proses penghitungan bahas memerlukan waktu lama
b. Proses pembuatan laporan-laporan akuntansi membutuhkan waktu yang lama.

2) Analisis Informasi (Information)
Kurang tepatnya penyajian informasi ke pada anggota dan pimpinan membuat sering terjadinya selisih paham antara pengelola dengan anggota dan pimpinan
Pada sistem lama :
a. Kurang tepatnya penghitungan bahas simpanan dan pinjaman
b. Kurang tepatnya laporan keuangan karena data yang tidak real time
c. Anggota kurang mendapat informasi yang jelas tentang tentang penghitungan bahas simpanan dan pinjaman.

3) Analisis Ekonomi (Economy)
Adanya peningkatan terhadap pendapatan karena adanya sistem baru terhadap manfaat-manfaat keuntungan atau penurunan biaya operasional yang terjadi.

4) Analisis Pengendalian (Control)
Merupakan peningkatan terhadap pengendalian untuk mendeteksi dan memperbaiki kesalahan serta kekurangan yang akan terjadi. Pengendalian atau kontrol dalam sebuah sistem sangat diperlukan keberadaannya untuk kesalahan sistem serta untuk menjamin keamanan data. Dengan adanya kontrol, maka tugas-tugas atau kinerja yang mengalami gangguan akan bisa diperbaiki

5) Analisis Efisiensi (Efficiency)
Efisiensi berhubungan dengan bagaimana sumber daya yang ada dapat digunakan sebaik mungkin dengan pemborosan yang minim. Sistem lama masih kurang efisien karena waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain masih harus digunakan untuk mengolah bahas dan membuat laoran-laporan keuangan.

6) Analisis Pelayanan (Service)
Masalah pelayanan berkaitan dengan penyediaan informasi bagi anggota. Untuk mendapatkan informasi simpanan dan bahas yang diterima, pada sistem lama cukup sulit dan menyita waktu, dimana harus datang langsung ke bagian teller kemudian menunggu proses penghitungan. Sistem yang baru dirancang untuk dapat menutupi kekurangan pada sistem lama sehingga dapat memuaskan anggota dalam memperoleh informasi

3.1 Penjelasan Rumus

 Rumus Akumulasi Aktiva Tetap dan Inventaris

Penyusutan per Bulan= Nominal/Jangka waktu
Jml Penyusutan = Nominal-Residu

Contoh Transaksi :
Rek Biaya Penyusutan Aktiva Tetap dan Inventaris(D)
Rek Akumulasi Aktiva Tetap dan Inventaris(K)

Rumus Amortisasi Rupa-rupa
Amortisasi= Nominal/ Jangka Waktu

Contoh Transaksi :
Rek Biaya Penyusutan Rupa-rupa(D)
Rek Rupa-rupa(K)

Keterangan Sandi :
 D : Debet
 K: Kredit

1. Bagi hasil pendapatan per simpanan( I jenis tabungan)
yaitu : saldo rata-rata per simpanan di bagi jumlah saldo rata-rata semua simpanan dikalikan porsi pendapatan untk simpanan,dikalikan nisbah

Saldo rata-rata per simpanan x Porsi pendapatan x Nisbah
   Jumlah saldo rata-rata semua simpanan

-Porsi pendapatan untuk simpanan
Yaitu: jumlah saldo rata-rata semua simpanan di bagi jumlah saldo rata-rata semua simpanan dan modal di kalikan pendapatan dari pembiayaan
Jumlah saldo rata-rata semua simpanan x pendapatan pembiayaan
Jml saldo rata-rata simpanan dan modal

-Porsi pendapatan untuk modal
Yaitu: jumlah saldo rata-rata semua modal di bagi jumlah saldo rata-rata semua simpanan dan modal di kalikan pendapatan dari pembiayaan


Jumlah saldo rata-rata semua modal x pendapatan pembiayaan
Jml saldo rata-rata simpanan dan modal

~ pendapatan pembiayaan
Yaitu : jumlah pendapatan dari pembiayaan kecuali dari administrasi pendpatan lain juga Qordh

~Nisbah : pembagian antara anggota dengan bmt



2. Bagi hasil per anggota/nasabah
Yaitu : jumlah saldo rata-rata harian per anggota di bagi saldo rata-rata per simpanan di kalikan pendapatan bagi hasil per simpanan
saldo rata-rata harian anggota x pendapatan bagi hasil per simpanan ( tabungan) /hasil 1
saldo rata-rata per simpanan

3. Jenis Pembiayaan
a. Murobahah
b. Mudlorobah
c. Ijaroh
d. Hiwalah
e. Qordh

4. Pengujian Sistem
Pengujian sistem dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Pengujian White Box
Pengetesan white box merupakan metode perancangan test case yang menggunakan struktur control dari perancangan procedural untuk mendapatkan test case. Tes ini dimaksudkan untuk meramalkan cara kerja perangkat lunak secara rinci. Karenanya logical path (jalur logika) perangkat lunak akan di tes dengan menyediakan test case yang akan mengerjakan kumpulan kondisi dan atau pengulangan secara spesifik.
Pada perancangan Sistem ini pengetesan dengan white box yaitu pad halaman login Aplikasi. Ada 2 text box yang harus diisi yaitu user dan password.


Gambar 4.1 Login User
Jika mengisi user yang salah dan menekan tombol login maka muncul pesan :



2. Pengujian Black Box
Pengujian Black box berfokus pada persyaratan fungsional perangkat lunak dengan demikian pengujian black box memungkinkan perekayasa perangkat lunak mendapatkan serangkain kondisi input yang sepenuhnya menggunakan semua
persyaratan fungsional untuk semua program. Pengujian black box bukan merupakan alternatif dari teknik white box, tetapi merupakan pendekatan komplementer yang kemungkinan besar mampu mengungkap kelas kesalahan dari pada metode white box.

Pengujian black box berusaha menemukan kesalahan dalam kategori sebagai berikut:
1) Fungsi-fungsi yang tidak benar atau hilang
2) Kesalahan interface
3) Kesalahan dalam struktur data
4) Kesalahan kinerja
5) Inisialisasi dan kesalahan terminasi
Uji coba dinyatakan berhasil apabila fungsi-fungsi yang ada pada perangkat lunak sesuai dengan apa yang diharapkan pemakai. Untuk mengetes langkah yang dilakukan dengan menjalankan aplikasi, menginput data, simpan data, edit data, dan hapus data

5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada pada halaman sebelumnya dengan adanya penelitian pada BMT Nur Ababil dan pembuatan laporan skripsi dengan judul “Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi di Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah BMT Nur Ababil Wonogiri “. Maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
Permasalahan operasional dalam Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah BMT Nur Ababil Wonogiri”. ini terletak pada proses pembukuan dan pembuatan laporan. proses pembukuan yang tidak teratur dan tidak efisien memicu munculnya masalah operasional yang dapat menghambat perkembangan koperasi. Apabila koperasi tidak menanggapi masalah ini, koperasi akan mengalami kesulitan seiring dengan bertambahnya data yang harus ditangani sebagai konsekuensi bertambahnya anggota dan transaksi. Sistem informasi akuntansi ini merupakan solusi tepat untuk masalah yang dihadapi koperasi ini.

1. Penelitian dan studi kasus yang mendalam terhadap proses setoran simpanan, pencairan pinjaman, penarikan simpansan, angsuran pinjaman, serta proses pelaporan keuangan yang ada dalam Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah BMT Nur Ababil Wonogiri ini, menghasilkan berbagai macam hasil analisis, seperti analisis kelemahan sistem, analisis kebutuhan sistem, dan analisis kelayakan sistem. Hasil analisis ini digunakan sebagai dasar untuk merancang sistem baru, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan keadaan koperasi.
2. Perancangan dan pengimplementasian sistem dilakukan dengan cara membuat desain proses, desain basis data, dan perancangan tampilan.
Hasil desain ini diterapkan ke dalam DBMS dengan membuat tabel, store procedure, dan view. Kemudian mengembangkan aplikasi berbasis desktop dengan menggunakan tool Visual Basic 6.0 yang tersambung dengan DBMS. Dalam aplikasi ini, terdapat form-form transaksi yang mampu menangani proses operasional Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah BMT Nur Ababil Wonogiri ini. Hasil keluaran dari aplikasi ini adalah laporan keuangan koperasi.



Nama           : Tri Yusnia Efendi
Kelas/NPM : 2EB09/27211179
Tahun          : 2011-20012