Selasa, 16 April 2013

REVIEW JURNAL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (BAGIAN 3)


Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan  Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)

HARIS RETNO SUSMIYATI

REVIEW 3




D. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Migas di Inonesia

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah production  sharing contracr (PSC). Istilah kontrak production sharing ditemukan dalam pasal 12 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1971 tentang pertamina jo Undang-undang nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. PERTAMINA menjadi pemegang kuasa pertambangan atas seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia., sepanjang mengenai pertambangan migas. Dalam pelaksanaanya PERTAMINA yang kurang modal dan teknologi di mungkinkan bekerjasama dengan pihk lain dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas dalam bentuk contract production sharing (pasal 12 UU Pertamina).
Sementara itu dalam pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi , istilah yang di gunakan adalah dalam bentuk kontrak  kerjasama ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama lainnya.
kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan model yang di kembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikasikan dalam undang-undang no 2 tahun 1960. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang di adakan diantara  pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemili tersebut untuk meyelenggarakan usaha pertanian I atas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang kemudian dikembangkan menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) untuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi. ( Rudi M. Simamora, 2000).
Istilah kontrak kerjasama menurut ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak an as bumi adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan dalam pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract), tetapi di fokuskan pada konsep kerja sama di bidang minyak dan gas bumi.
undang-indang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menjelaskan pengertian Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), namun pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 1 PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang syarat-syarat pedoman kerjasama  kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)menurut ketentuan tersebut adalah “kerjasama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.”
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dalam pengusahaan pertambangan Migas dirancang sedemikian rupa untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi dan sumberdaya manusa khususnya Pertamina dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi. (Rudi M. Simamora, 2000).
berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 1 dalam undangundang Nomor 22 tahun 2001, pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi khususnya sektor kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan di kendalikan melalui kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang dimaksudn menurut ketentuan pasal 1 ayat  19 undang-undang tersebut adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya diperguanakn untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kerjasam dalam bidang minyak dan gas bumi dapat di bedakan menjadi dua yaitu :

1.       Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract);
2.       Kontrak-kontrak bentuk lainnya;

Ketentuan tersebut dipertegas dalam pasal 11 ayat 1 yang mengharuskan setiap kegiatan usaha hulu dalam pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh badan usaha atau badan usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana.
sehingga jika ada pegusahaan pertambangan migas tanpa didasari Kontrak Kerjasama dengan Badan Pelaksana maka dpat dikatakan sebagai illegal. Ancaman hukumannya secara tegas di tuangkan dalam ketentuan pasal 52, yang menyatakan bahwa setiap orang yang mealakukan eksplorasi dan atau eksploitasi tanpa mempunyai kontrakkerjasama dengan Badan Pelaksana dapat dikenkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun enda paling tinggi Rp 60.000.000.000,- (enam puluh miliar rupiah).

1.       Prinsip Pokok Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Menurut pendapat Salim HS, kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) adalah perjanjian atau kontrak yang di buat antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dibidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil. (2004:260).
Kontrak Bgi Hasil (Production Sharing Contract) mempuyai beberapa cirri utama (Rudi M. Simamora, 2000), yaitu :
a.       Manajemen ada di tangan Negara (perusahaan Negara)
Negara ikut serta dan megawai jalannya operasi pertambangan minyak dan gas bumi secara aktif dengan tetap meberikan kewenangan kepada kontraktor untuk brtindak sebagai operator dan menjalankan operasi I bawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan mekanisme prsetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh ana persetujuan Negara atau perusahaan Negara diperlukan dalam proses pengambilan keputusan.
b.      Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)
kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan,yang kemudian di gantikembali dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Besaran penggantinya biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery). Bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi.
c.       Pembagian Hasil Produksi (Production split)
Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbed-beda tergantung dari berbagai factor.
d.      Pajak (tax)
Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor, besarannya dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi antara Negara dengan kontarktor. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka semakin besar pajak penghasilan yang dikenakan atas kontraktor akan smain kecil.
e.      Kepemilikan asset ada pada Negara (perusahaan Negara)
Umumnya semua peralatan yang di perlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik perusahaan Negara segera seelah di beli atau setelah di depresiasi. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang di sewa karena kepemilikannya memang idak pernah beralih kepda kontaktor.

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22  Tahun 2001, pertmbangan minyak dan gas bumi mangacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan perjanjian bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Uasaha atau Badan Usaha Tetap.
Tiga prinsip pokok Kontrak Bagi Hail (Production Sharing Contract) berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, memuat persyaratan :
a.       Kepemilikan sumber daya alam tetap ditangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c.       Modal dan rsikoseluruhnya di tanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) berbentuk tertulis, yang dibuat antara Pelaksana dengan  Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap. Substansiyang harus dimuat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).


2.       Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, pertambangan minyak an gas bumi mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) merupakan perjanjian bagi hasil di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor.
Tahun 1960 disahkannya Undang-undang No. 44 Prp tahun 1960 yang mengamanatkan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya dilaksanakan oleh perusahaan Negara. Oleh karena itu didirikanlah PN Pertamina berdasarkan PP no. 27 tahun 1968.
Erdasarkan UU No. 44 Prp tahun 1960, dalam pasal 6 undang-undang tersebut menetapkan apabila diperlukan Menteri dapat emenujuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan guna melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan Negara. Dengan demikian perusahan asing harus berubah status menjadi kontraktor peusahaan Negara.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001maka tugas Pertamina dalam mewakili Negara daam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) tidak ada lagi. Peran tersebut beralih kepada Badan Pelaksana yang merupakan bagian dari pemerintah. Dengan adanya pengaturan baru ini maka status Pertamina menjai setara dengan perusahaan Minyak swasta domestic maupun asing.
Namun sejak di berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan P elaksana dengan Badan Usaha atau Badan Uaha Tetap.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 merubah para pihak yang terkait dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), kalau sebelumnya adalah Pertamina sebagai perusahaan Negara dan perusahaan migas sebagai kontraktor, maka setelah berlakunya UU Migas tersebut maka para pihak yang ada dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), adalah Negara yang diwakili badan pelaksana sedangkan kontraktornya adalah badan usaha /badan usaha tetap.
Badan pelaksana seperti yang di atur dalam pasal 1 ayat 23 adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Sedangkan enurut ktentuan pasal 1 ayat 17 pengertian badan usaha adalah perusahaan berebentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan di dirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melalkukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berada di Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut membawa implikasi dapat membahayakan kepentingan national. Hal ini disebabkan jaminan atas kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) telah diperluas. Jika berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 44 Tahun1960 hanya dijamin oleh asset BUMN (Pertamina)sebagai pihak penandatangan kontrak di dalam pola hubungan perusahaan minyak domestic dan perusahaan asing. Tetapi berdasarkan ketentuan UU Migas Nomor 22 tahun 2001, kontrak pengusahaan migas diubah dengan jaminan seluruh asset pemerintah di dalam pola hubungan Negara dengan perusahaan. Karena yang menandatangani kontrak bedasarkan ketentuan tersebut dari pihak idonesia adalah Badan Pelaksana (BP Migas) yang merupakan bagian pemerintah.

Selain itu tidak ada ketentuan pelibatan Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayah eksplorasi migas dalam proses kesepakatan Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Bagian daerah hanya dalam hal mendapat bagian penerimaan Negara. Pemerinah Daerah seharusnya dilibatkan dalam proses Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), karena daerah dan masyarakat disekitar wilayah pertambanganlah yang harus menanggung beban resiko dan menerima dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.

3.       Obyek dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang di atur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas : (1) Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga. Berdasarkan ketentuan tersebut Nampak bahwa adanya pemisahan secara tegas dua sektor dalam pengusahaan pertambangan migas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Obyek yang dapat diperjanjikan dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) menurut ketentuan pasal 5 (1), pasal 6 (1) serta pasal 11 (1) adalah khusus kegiatan usaha hulu dalam pertambangan migas, yang meliputi eksplorasi da eksploitasi. Ketentuan dalam Undang-undang ini khususnya pasal 1 ayat 8 dan 9, menerangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wlayah kerja yang ditentukan. Sedangkan yang dimaksud eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

4.       Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, yaitu : (1) membayar penerimaan Negara yang berupa pajak meliputi pajak-pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah; (2) membayar penerimaan Negara bukan pajak yang meliputi bagian Negara, pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi dan bonus-bonus. Sedangkan hak badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha adalah mendapatkan bagian keuntungan dari hasil produksi setelah dikurangi bagian Negara.
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan usaha tetap. Mengacu kepada pasal 66 ayat 2 UU Nomor  22 tahun 2001, maka jelas di dalam pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina masih berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 16 Peraturan Pemerintah 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan  Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Mnyak dan Gas Bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan Enrgi.

Penentuan bagi hasil minyak dan gas bumi jika mengacu pada kontrak bagi hasil generasi III (Salim H.S : 2004) adalah :
a.       Minyak : 85% untuk badan pelaksana; 15% untuk dbadan usaha dan badan usaha dan badan usaha tetap; dan
b.      Gas : 70% untuk badan pelaksana dan 30% untuk badan usaha dan atau badan usaha tetap.

Lahirnya UU No. 25 tahun 1999 jo Undang-undang No. 32 Tahun 2004, menjadi tonggak bagi daerah untuk mendapatkan bagian dari penerimaan Negara dari hasil minyak dan gas bumi. Bagian daerah dari sumber daya alam secara khusus diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Salah satu bentuk dana perimbangan yang menjadi bagian daerah adalah Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, penerimaan pertambangan minyak dan gas bumi yang di bagikan ke daerah adalah penerimaan Negara dari smber daya alam pertambangan minyak dan gas bumi dari wilayah daerah yang berangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

Pembagian penerimaan berdasarkan pasal 14 (e dan f) dan 19 (2,3,4) dari pertambangan minyak dan gas bumi di bagi dengan imbangan :
a.       Pembagian penerimaan dari pertambangan minyak : 84,5% untuk pemerintah pusat; 15,5% untuk daerah. Dari pembagian sebanyak 15%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 3%, kabupaten/kota penghasil sebesar 6%, dan bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 6%
b.      Pembagian penerimaan dari pertmbangan Gas Bumi : 69,5% untuk pemerintah pusat; 30,5% untuk daerah. Dari pembagian sebanyak 30,5%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 6% bagian kabupaten/kota penghasil sebanyak 12%, dan bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12%.
Persentase bagian daerah harus juga memperhitungkan biaya social yang di tanggung akibat beban resiko dan dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas. Namun prakteknya pembagian hasil produksi migas tersebut bagi daerah penghasil sering dirasa terlalu kecil, hal ini disebabkan dampak dan resiko eksplorasi dan eksploitasi harus di tanggung oleh daerah penghasil migas. Dampak dan resiko yang harus di tanggung tidak sedikit. Fakta menunjukkan bahwa daerah penghasil migas justru masyaraktnya hidup dalam kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar