Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
(Legal Aspec of Production Sharing Contract on Oil and Natural Gas Mining in Indonesia)
HARIS RETNO SUSMIYATI
REVIEW 3
D. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing
Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Migas di Inonesia
Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan
dari istilah production sharing contracr
(PSC). Istilah kontrak production sharing ditemukan dalam pasal 12 ayat 2
Undang-undang No. 8 tahun 1971 tentang pertamina jo Undang-undang nomor 10
tahun 1974 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang
Pertamina. PERTAMINA menjadi pemegang kuasa pertambangan atas seluruh wilayah
hukum pertambangan Indonesia., sepanjang mengenai pertambangan migas. Dalam
pelaksanaanya PERTAMINA yang kurang modal dan teknologi di mungkinkan
bekerjasama dengan pihk lain dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi
pertambangan migas dalam bentuk contract production sharing (pasal 12 UU
Pertamina).
Sementara itu dalam pasal 1 angka 19
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi , istilah yang di
gunakan adalah dalam bentuk kontrak kerjasama
ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama
lainnya.
kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan model yang di
kembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat
Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut
telah dikodifikasikan dalam undang-undang no 2 tahun 1960. Menurut
undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian
dengan nama apapun juga yang di adakan diantara
pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak
yang dalam hal ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana diperkenankan
oleh pemili tersebut untuk meyelenggarakan usaha pertanian I atas tanah
pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang
kemudian dikembangkan menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) untuk
usaha pertambangan minyak dan gas bumi. ( Rudi M. Simamora, 2000).
Istilah kontrak kerjasama menurut ketentuan
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak an as bumi adalah kontrak bagi
hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan dalam pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak
bagi hasil (Production Sharing Contract), tetapi di fokuskan pada konsep kerja
sama di bidang minyak dan gas bumi.
undang-indang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menjelaskan
pengertian Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), namun pengertian
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dapat ditemukan dalam pasal 1
angka 1 PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang syarat-syarat pedoman kerjasama kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi.
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)menurut ketentuan tersebut
adalah “kerjasama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian
hasil produksi.”
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)dalam pengusahaan pertambangan
Migas dirancang sedemikian rupa untuk mengatasi permasalahan keterbatasan
modal, teknologi dan sumberdaya manusa khususnya Pertamina dalam menjalankan
eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi. (Rudi M. Simamora,
2000).
berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 1 dalam undangundang Nomor 22 tahun 2001,
pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi khususnya sektor kegiatan usaha
hulu dilaksanakan dan di kendalikan melalui kontrak kerjasama. Kontrak
kerjasama yang dimaksudn menurut ketentuan pasal 1 ayat 19 undang-undang tersebut adalah Kontrak Bagi
Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya diperguanakn untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kerjasam
dalam bidang minyak dan gas bumi dapat di bedakan menjadi dua yaitu :
1.
Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing Contract);
2.
Kontrak-kontrak bentuk lainnya;
Ketentuan tersebut dipertegas
dalam pasal 11 ayat 1 yang mengharuskan setiap kegiatan usaha hulu dalam
pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh badan usaha atau badan usaha
tetap berdasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana.
sehingga jika ada pegusahaan pertambangan migas tanpa didasari Kontrak
Kerjasama dengan Badan Pelaksana maka dpat dikatakan sebagai illegal. Ancaman
hukumannya secara tegas di tuangkan dalam ketentuan pasal 52, yang menyatakan
bahwa setiap orang yang mealakukan eksplorasi dan atau eksploitasi tanpa
mempunyai kontrakkerjasama dengan Badan Pelaksana dapat dikenkan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun enda paling tinggi Rp 60.000.000.000,- (enam puluh
miliar rupiah).
1.
Prinsip Pokok Kontrak Bagi
Hasil (Production Sharing Contract)
Menurut pendapat Salim HS, kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract) adalah perjanjian atau kontrak yang di buat
antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau bentuk usaha tetap untuk
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dibidang minyak dan gas bumi
dengan prinsip bagi hasil. (2004:260).
Kontrak Bgi Hasil (Production Sharing Contract) mempuyai
beberapa cirri utama (Rudi M. Simamora, 2000), yaitu :
a.
Manajemen ada di tangan Negara
(perusahaan Negara)
Negara ikut serta dan megawai jalannya operasi pertambangan minyak dan gas bumi
secara aktif dengan tetap meberikan kewenangan kepada kontraktor untuk brtindak
sebagai operator dan menjalankan operasi I bawah pengawasannya. Negara terlibat
langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya
dijalankan dengan mekanisme prsetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah
ini adalah batasan sejauh ana persetujuan Negara atau perusahaan Negara
diperlukan dalam proses pengambilan keputusan.
b.
Penggantian biaya operasi
(operating cost recovery)
kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi
yang diperlukan,yang kemudian di gantikembali dari hasil penjualan atau dengan
mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Besaran penggantinya
biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery). Bisa
saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi.
c.
Pembagian Hasil Produksi
(Production split)
Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya
merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi
Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbed-beda tergantung dari
berbagai factor.
d.
Pajak (tax)
Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor, besarannya
dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi antara Negara dengan
kontarktor. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka semakin besar
pajak penghasilan yang dikenakan atas kontraktor akan smain kecil.
e.
Kepemilikan asset ada pada
Negara (perusahaan Negara)
Umumnya semua peralatan yang di perlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi
milik perusahaan Negara segera seelah di beli atau setelah di depresiasi.
Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang di sewa karena kepemilikannya memang
idak pernah beralih kepda kontaktor.
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, pertmbangan minyak dan gas bumi
mangacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
merupakan perjanjian bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, para
pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Namun sejak diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para
pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Uasaha atau Badan Usaha Tetap.
Tiga prinsip pokok Kontrak Bagi Hail (Production Sharing
Contract) berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, memuat persyaratan :
a.
Kepemilikan sumber daya alam
tetap ditangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.
Pengendalian manajemen operasi
berada pada badan pelaksana;
c.
Modal dan rsikoseluruhnya di
tanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
berbentuk tertulis, yang dibuat antara Pelaksana dengan Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap.
Substansiyang harus dimuat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing
Contract).
2.
Para Pihak dalam Kontrak Bagi
Hasil (Production Sharing Contract)
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001, pertambangan minyak an gas bumi mengacu pada ketentuan Undang-undang
Nomor 44 Prp tahun 1960. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract) merupakan perjanjian bagi hasil di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya adalah Pertamina dan
Kontraktor.
Tahun 1960 disahkannya Undang-undang No. 44 Prp tahun
1960 yang mengamanatkan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya
dilaksanakan oleh perusahaan Negara. Oleh karena itu didirikanlah PN Pertamina
berdasarkan PP no. 27 tahun 1968.
Erdasarkan UU No. 44 Prp tahun 1960, dalam pasal 6
undang-undang tersebut menetapkan apabila diperlukan Menteri dapat emenujuk
pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan guna melaksanakan pekerjaan yang
belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan Negara. Dengan
demikian perusahan asing harus berubah status menjadi kontraktor peusahaan
Negara.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Migas Nomor 22 tahun
2001maka tugas Pertamina dalam mewakili Negara daam Kontrak Bagi Hasil
(Production Sharing Contract) tidak ada lagi. Peran tersebut beralih kepada
Badan Pelaksana yang merupakan bagian dari pemerintah. Dengan adanya pengaturan
baru ini maka status Pertamina menjai setara dengan perusahaan Minyak swasta
domestic maupun asing.
Namun sejak di berlakukannya Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan P
elaksana dengan Badan Usaha atau Badan Uaha Tetap.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 merubah para pihak
yang terkait dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), kalau
sebelumnya adalah Pertamina sebagai perusahaan Negara dan perusahaan migas
sebagai kontraktor, maka setelah berlakunya UU Migas tersebut maka para pihak
yang ada dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), adalah Negara
yang diwakili badan pelaksana sedangkan kontraktornya adalah badan usaha /badan
usaha tetap.
Badan pelaksana seperti yang di atur dalam pasal 1 ayat
23 adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha
hulu di bidang minyak dan gas bumi. Sedangkan enurut ktentuan pasal 1 ayat 17
pengertian badan usaha adalah perusahaan berebentuk badan hukum yang
menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan di dirikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melalkukan kegiatan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berada di Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut membawa implikasi dapat membahayakan
kepentingan national. Hal ini disebabkan jaminan atas kontrak Kerjasama dan
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) telah diperluas. Jika
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 44 Tahun1960 hanya dijamin oleh asset
BUMN (Pertamina)sebagai pihak penandatangan kontrak di dalam pola hubungan
perusahaan minyak domestic dan perusahaan asing. Tetapi berdasarkan ketentuan
UU Migas Nomor 22 tahun 2001, kontrak pengusahaan migas diubah dengan jaminan
seluruh asset pemerintah di dalam pola hubungan Negara dengan perusahaan.
Karena yang menandatangani kontrak bedasarkan ketentuan tersebut dari pihak idonesia
adalah Badan Pelaksana (BP Migas) yang merupakan bagian pemerintah.
Selain itu tidak ada ketentuan pelibatan Pemerintah
Daerah dan masyarakat di wilayah eksplorasi migas dalam proses kesepakatan
Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Bagian
daerah hanya dalam hal mendapat bagian penerimaan Negara. Pemerinah Daerah
seharusnya dilibatkan dalam proses Kontrak Kerjasama dan Kontrak Bagi Hasil
(Production Sharing Contract), karena daerah dan masyarakat disekitar wilayah
pertambanganlah yang harus menanggung beban resiko dan menerima dampak dari
eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.
3.
Obyek dalam Kontrak Bagi Hasil
(Production Sharing Contract)
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang di atur dalam
pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas : (1) Kegiatan Usaha
Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir yang
mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga. Berdasarkan ketentuan
tersebut Nampak bahwa adanya pemisahan secara tegas dua sektor dalam
pengusahaan pertambangan migas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Obyek
yang dapat diperjanjikan dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
menurut ketentuan pasal 5 (1), pasal 6 (1) serta pasal 11 (1) adalah khusus
kegiatan usaha hulu dalam pertambangan migas, yang meliputi eksplorasi da
eksploitasi. Ketentuan dalam Undang-undang ini khususnya pasal 1 ayat 8 dan 9,
menerangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wlayah kerja yang ditentukan.
Sedangkan yang dimaksud eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang
terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak
dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
4.
Hak dan Kewajiban Para Pihak
dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang
melaksanakan kegiatan usaha hulu berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing Contract) diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001
tentang migas, yaitu : (1) membayar penerimaan Negara yang berupa pajak
meliputi pajak-pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak
daerah dan retribusi daerah; (2) membayar penerimaan Negara bukan pajak yang meliputi
bagian Negara, pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan
eksploitasi dan bonus-bonus. Sedangkan hak badan usaha dan atau badan usaha
tetap yang melaksanakan kegiatan usaha adalah mendapatkan bagian keuntungan
dari hasil produksi setelah dikurangi bagian Negara.
Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tidak diatur secara
khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan
usaha dan atau badan usaha tetap. Mengacu kepada pasal 66 ayat 2 UU Nomor 22 tahun 2001, maka jelas di dalam pasal ini
disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 44 Prp
Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina masih
berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 16 Peraturan Pemerintah 35
Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan
Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Mnyak dan Gas Bumi ditentukan
bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan
Enrgi.
Penentuan bagi hasil minyak dan gas bumi jika mengacu
pada kontrak bagi hasil generasi III (Salim H.S : 2004) adalah :
a.
Minyak : 85% untuk badan
pelaksana; 15% untuk dbadan usaha dan badan usaha dan badan usaha tetap; dan
b.
Gas : 70% untuk badan pelaksana
dan 30% untuk badan usaha dan atau badan usaha tetap.
Lahirnya UU No. 25 tahun 1999 jo Undang-undang No. 32
Tahun 2004, menjadi tonggak bagi daerah untuk mendapatkan bagian dari
penerimaan Negara dari hasil minyak dan gas bumi. Bagian daerah dari sumber
daya alam secara khusus diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Salah satu bentuk dana perimbangan yang menjadi bagian daerah adalah
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pertambangan minyak dan gas bumi
sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004,
penerimaan pertambangan minyak dan gas bumi yang di bagikan ke daerah adalah
penerimaan Negara dari smber daya alam pertambangan minyak dan gas bumi dari
wilayah daerah yang berangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya.
Pembagian penerimaan berdasarkan pasal 14 (e dan f) dan
19 (2,3,4) dari pertambangan minyak dan gas bumi di bagi dengan imbangan :
a.
Pembagian penerimaan dari
pertambangan minyak : 84,5% untuk pemerintah pusat; 15,5% untuk daerah. Dari
pembagian sebanyak 15%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan
sebanyak 3%, kabupaten/kota penghasil sebesar 6%, dan bagian kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 6%
b.
Pembagian penerimaan dari
pertmbangan Gas Bumi : 69,5% untuk pemerintah pusat; 30,5% untuk daerah. Dari
pembagian sebanyak 30,5%, bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan
sebanyak 6% bagian kabupaten/kota penghasil sebanyak 12%, dan bagian
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12%.
Persentase
bagian daerah harus juga memperhitungkan biaya social yang di tanggung akibat
beban resiko dan dampak dari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.
Namun prakteknya pembagian hasil produksi migas tersebut bagi daerah penghasil
sering dirasa terlalu kecil, hal ini disebabkan dampak dan resiko eksplorasi
dan eksploitasi harus di tanggung oleh daerah penghasil migas. Dampak dan
resiko yang harus di tanggung tidak sedikit. Fakta menunjukkan bahwa daerah
penghasil migas justru masyaraktnya hidup dalam kemiskinan.